Kulihat raut wajah saudaraku,
Sudah sepantasnya berada dalam keadaan marah
Seorang tamunya sangat menjengkelkan
Sesaat dia menoleh ke sebelah kiri dan wajahnya kembali ceria
Setelah semua usai kutanya dia
Dia mengungkapkan, sambil menoleh dia berkata dalam hatinya
Nesu-nesu ngaliha! Marah-marah pergilah!
Dan pergilah si Marah menyingkir
Saudaraku dapat mengendalikan emosi,
Emosi itu dianggap makhluk luar yang bukan dirinya.
Kala diriku dapat memperhatikan napas
Itu tubuhku yang bernapas
Ternyata diriku dapat menyaksikan napas
Kemudian kusadari bahwa aku ternyata saksi
Kala diriku dapat memperhatikan pikiran
Itu otakku yang sedang berpikir
Ternyata diriku dapat menyaksikan pikiran
Kemudian kusadari bahwa diriku ternyata saksi
Kala diriku merasa bahagia ataupun marah
Itu rasaku yang sedang bahagia atau marah
Ternyata diriku dapat menyaksikan perasaan
Kemudian kusadari bahwa diriku ternyata saksi
Namaku, pekerjaanku, silsilahku, pendidikanku, jenisku
Semua identitas diriku diperoleh dari luar
Dan yang di luar tidak ada yang abadi
Kemudian aku sadari
Aku ternyata saksi yang murni
Yang kusadari ketika pikiranku jernih
Ketika napasku pelan
Ketika diriku tenang
Sabar, eling, dan waspada, itulah saran Sang Pujangga
Saran Sang Pujangga tidak bisa dipisahkan dari ketenangan diri
Diri yang sabar, ingat jati diri, tenang, menjadi waspada
Itulah salah satu gerbang menuju kedamaian diri
Kebahagiaan sejati
Saksi yang murni, yang tidak terpengaruh kegiatan duniawi.
Nesu-nesu ngaliha!
Diriku saksi yang murni.
Triwidodo
Februari 2008
Filed under: puisi | Tagged: kesadaran, puisi-nurani, renungan diri |
Tinggalkan komentar