Mutiara Quotation ISHQ MOHABBAT


 

Judul : ISHQ MOHABBAT

Dari Nafsu Berahi Menuju Cinta Hakiki

Pengarang : Anand Krishna

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : 2005

Tebal : 140 halaman

 

Mutiara Quotation ISHQ MOHABBAT

 

Catatan:

Legenda adalah wahana yang luar biasa untuk memasuki wilayah rohani. Dan kali ini disajikan bagi Anda, Sasui Punhu, sebuah kisah cinta dari lembah sungai Sindhu; tepatnya di sekitar wilayah Punjab yang sekarang terbagi menjadi dua, sebagian di Pakistan, sebagian di India.

Sasui Punhu adalah penggambaran kembara rohani melalui sebuah kisah cinta insani. Dari beberapa versi, dipilih versi sufi yang salah satunya kini diulas kembali oleh Bapak Anand Krishna untuk Anda.

Buku ini adalah bagian dari trilogi:

  • Ishq Allah

  • Ishq Ibaadat

  • Ishq Mohabbat

Dengan buku ini, selami cinta yang melucuti kita dari segala kata.

 

Sasui Punhu

Apa pun yang kita lakukan sesungguhnya tak luput dari Hukum Karma. Pembicaraan kita saat ini, bahkan pikiran, ya apa yang terpikir, tindakan, ucapan, pikiran – semua menjadi sebab dan membawa akibat. Tapi, Naaun, bagaimana kalau kita menjadi pemain saja – bermain atas perintah Sang Sutradara Agung?

Betul, kau betul. Tak sesuatu pun terjadi bila Ia tak menghendaki-Nya. Dan, dengan menerima Kehendak agung itu sebagai perintah-Nya, kita terbebaskan dari hukum. Bukan Hukum Karma saja, tetapi hukum apa saja.

Orang Hindu merasa harus membela agama Hindu. Orang Islam merasa harus membela agama Islam. Orang Kristen, Kattholik, dan lainnya pun sama. Apa betul, agama harus dibela? Dan, dibela oleh manusia?

Apa benar, manusia lebih kuat daripada agama yang dianutnya? Bila ya, kenapa ia harus bersandar pada Agama? Kenapa harus percaya pada sesuatu yang lebih lemah daripada dirinya?

Dan, bila agama lebih kuat daripada manusia, agamalah yang harus membela manusia. Bukan sebaliknya.

Atas nama pembelaan terhadap agama, entah berapa tempat ibadah yang telah dihancurkan? Atas nama Tuhan, rumah-rumah-Nya malah dibumihanguskan. Kita masih belum sadar juga, tidak sadar juga…..

Ayat Allah telah turun. Lewat gelombang tsunami yang menghancurkan itu, lewat Gempa Bumi di Jogya dan Klaten, lewat Lapindo dan berbagai bencana lainnya. Ia Yang Maha Mendaur Ulang tengah berbicara dengan kita. Ia hendak menyampaikan sesuatu, tetapi kita tidak memahami.

Kemudian, ada juga yang dengan bangga mengatakan: lihat saja, semuanya hancur, Bait Allah, Rumah Tuhan saja yang masih utuh, tidak hancur. …………….Versi allah yang sungguh-sungguh lucu, sama-sama ajaib…Rumah sendiri dilindungi, umat-Nya tidak!

Dilema Naaun juga merupakan dilema kita semua saat ini. Ketika seorang tokoh menyebar-luaskan kebencia dan permusuhan antar umat dengan visinya yang sempit, pasti terjadi perpecahan dalam masyarakat kita. Apa yang harus dilakukan oleh seorang Naaun?

Hari itu Naaun bingung. Hari ini pun Naaun masih tetap bingung. Kebingungannya tidak terhadap agama, tetapi terhadap orang-orang mengenai agama… pemahaman mereka yang dianggap sebagai otoritas yang berhak memaknai agama semau mereka.

Agama yang semula diturunkan untuk mempermudah hidup manusia, memperkayanya dengan nilai-nilai yang menyejukkan, sekarang telah berubah menjadi sesuatu yang sangat menyulitkan, dan tidak lagi menyebarkan kesejukan, cinta, tetapi kebencian.

 

Kadang, agama yang seharusnya mempertemukan malah memisahkan. Kadang, agama yang seharusnya menyejukkan malah menggerahkan. Kadang, agama yang seharusnya memberi rasa aman malah membawa bencana. Dan, semua itu terjadi karena “interpretasi” manusia terhadap agama, karena “pemahaman” kita tentang agama masih sempit, masih picik.

Berarti, interpretasi manusia atau pemahamannya tentang agama menjadi sangat penting. Pemahaman yang sempit membawa bencana dan menjadi serapah. Pemahaman yang luas menghasilkan rasa damai dan menjadi berkah.

 

Keyakinan Punhu sungguh luar biasa. Dan, hanyalah keyakinan seperti itu yang dapat mempertemukan kita dengan Sang Cantik, dengan Ia Yang Maha Cantik, dengan Kecantikan itu sendiri.

Tanpa keyakinan seperti itu, kita hanya dapat bertemu dengan kecantikan semu, dengan cantik-cantik kodian yang banyak kita temuai dimana-mana. Tanpa keyakinan Punhu, kita hanya akan bertemu dengan kecantikan jasmani. Kecantikan rohani tak akan kita temuai.

Yakinkah kita akan Kecantikan-Nya? Apa masih membutuhkan bukti, masih ingin mendengar kesaksian orang? Bahkan, bila kita percaya pada-Nya”karena” Ia cantik, kepercayaan yang masih membutuhkan “karena” bukanlah keyakinan. Yakin berarti tidak percaya “karena” sesuatu. Yakin berarti yakin, tanpa embel-embel “karena”.

 

Kita mengambil langkah pertama dalam perjalanan rohani saat kita menjadi saksi. Tanpa kesaksian semacam itu, kita tak dapat melangkah maju. Langkah kedua adalah yakin… yakin pada pengalaman pribadi. Sekecil apa pun pengalaman kita, pengalaman kita adalah pengalaman kita. Pengalaman kita yang “secuil” jauh lebih berarti bagi kita daripada segudang buku berisikan pengalaman-pengalaman orang alai yang kita baca.

Kita harus selesai dulu dengan segudang buku. Bacaan kita harus kita selesaikan terlebih dahulu. Bacaan itu hanya berguna sebalum kita menjadi saksi. Bacaan itu hanya bermanfaat bila kita terpicu untuk melakukan perjalanan. Bacaan itu hanyalah seperti iklan tentang suatu tempat yang indah. Dan, iklan hanyalah brguna untuk memunculkan hasrat di dalam diri kita, keinginan tunggal dan sungguh-sungguh di dalam diri kita untuk mengunjungi tempat itu – untuk menjadi saksi bagi keindahan.

Punhu sudah selesai dengan bacaannya. Ia juga sudah menjadi saksi, sudah yakin. Sekarang ia siap untuk berijtihad, berupaya untuk mewujudkan keyakinannya dalam hidup sehari-hari, itulah langkah ketiga.

Langkah pertama : menjadi saksi.

Langkah kedua: meyakini kesaksian diri.

Langkah ketiga: mewujudkan keyakinan serta kesaksian dalam keseharian.

 

Tanpa disadarinya, Punhu telah mengambil langkah keempat, yaitu menafikan segala yang menjadi penghalang bagi ijtihadnya.

Kadang, terpesona oleh kecantikan-Nya, kita melupakan Ia Yang Maha Cantik dan kita berhenti berjihad. Kita merasa sudah sampai. Ya, kecantikan-Nya pun dapat membuat kita lupa akan Yang Maha Cantik.

Dunia ini ibarat kecantikan-Nya. Alam semesta adalah kecantikan-Nya. Sementara kita terjebak dengan kecantikan-Nya; kita sibuk mengartikan kecantikan-Nya, mengejar kecantikan-Nya dengan penuh hasrat untuk memiliki-Nya. Kita lupa bahwa Yang Maha Cnatik tak dapat dimiliki karena kita tidak “maha”, belum “maha”, Yang “Maha” Dia. Kita bisa menjadi milik-Nya, tetapi tidak dapat memiliki-Nya!

Sang Cantik, Kecantikan dan kita yang terpesona oleh Sang Cantik, oleh Kecantikan, atau oleh kedua-duanya – itulah Trinitas Kehidupan, tiga sisi utama kehidupan yang menjadi dasar bagi segala sesuatu yang hidup.

Bila tiga sisi itu menjadi dasar utama bagi kehidupan, apa yang menjadi dasar bagi kematian? Jawabannya, ketiga unsur yang sama, karena kematian tidak bertentangan dengan kehidupan. Kelahiran dan kematian hanyalah ombak yang memasang dan menyurut dalam lautan kehidupan. Kematian pun sesungguhnya sangat cantik, secantik kelahiran. Matahari saat terbenam sama indahnya seperti saat terbit. Keindahan yang disebarnya pun sama.

 

Dengan menempatkan seorang makcomblang antara dirinya dan Sansui, Punhu membuat kesalahan pertama, yaitu menciptakan jarak antara pengabdi dan Yang Diabdi.

Tidak hanya perantara, Punhu juga membuat kesalahan lain dengan memamerkan kelebihan-Nya, Aku seorang pangeran, putra raja – itulah kesalahan kedua yang dilakukannya. Memang btidak secara langsung kepada orang tua sasui, tetapi itulah yang ia jual lewat makcomblangnya. Pamer adalah kecenderungan yang juga dimiliki oleh setiap orang.

Merunduk di hadapan Lal, dan melihat yang tak terlihatpada Sansui! Dengan itu Punhu menghunjam ke kedalaman. Tapi, kenapa dia harus memakai kedok?

Inilah kesalahan ketiga: Punhu berkedok. Ia bohong., tidak tampil apa adanya. Ia menutup-nutupi.

Ia berbuat begitu karena takut. Punhu masih takut ditolak. Ia tidak siap ditolak. Ia tidak dapat menerima penolakan.kedekatan dengan kasih masih diukurnya dengan penolakan dan penerimaan.

Tak cukupkah bila kita sudah dekat? Apakah kedekatan itu tak sama dengan penerimaan? Tak cukupkah kedekatan dengan Sang Kasih? Mau menuntut penerimaan seperti apa lagi? Kedekatan dengan Sang Kasih sudah merupakan bukti dari penerimaan-Nya.tapi, Punhu tidak puas, ia ingin memiliki Kasih dan itulah kesalahannya yang keempat: keinginan untuk memiliki – keserakahan!

 

Kebenaran tak pernah basi, ia tetap segar, namun pemahaman kita bisa menjadi basi. Kebenaran sebagaimana kita pahami dulu barangkali sudah tidak dapat diterima lagi sebagai kebenaran kini. Upaya untuk hari ini memaksakan pemahaman kemarin hanya menciptakan keraguan, kesangsian, kebimbangan, dan kekacauan.

Pemahamn tentang kebenaran yang ditunda penyebarannya; dan disebarkan lama setelah terjadinya pemahaman itu, mengeluarkan aroma tak sedap pula.

 

Sudah bersama sasui, kita masih saja tidak percaya terhadap kebijaksanaannya. Apa yang terjadi dengan penyerahan diri kita? Bagaimana dengan kasih kita? Pengabdian kita?

Punhu belum siap. Ia belum memiliki pengaman diri secanggih itu. Kemampuan diri Punhu tak tersembunyi dari Sasui.karena itu, berulang kali Sasui memberi peringatan supaya Punhu hati-hati. Sayang, Punhu malah menyalahpahami iktikad baik. Ia malah menuduh yang bukan-bukan.

Seorang murshid mengetahui kemampuan muridnya. Karena itu, bila terbukti belum siap, ia akan memagari si murid demi keselamatan kesadaran nya. Para murid sering menyalahartikan kepedulian sang murshid, Kok saya ditegur terus. Mereka ingin melakukan sesuatu yang mereka anggap baik bagi sang murshid. Mereka hendak menyebarluaskan pesan guru mereka, padahal bila jujur dengan diri sendiri, dibalik keinginan itu tersembunyi kepentingan-kepentingan pribadi mereka sendiri. Jiwa mereka masih mengejar ketennaran dan pengakuan dari dunia luar.

Mereka lupa bahwa sisa-sisa keliaran dan kebuasan yang masih ada di dalam diri mereka dapat terpicu kapan saja…. dan terjadilah, apa yang dikhawatirkan sang murshid… ingin menyelamatkan, mereka sendiri malah hanyu.

 

Jangankan satu malam, sedetik pun cukup untuk memerosotkan kesadaran. Apalagi bila pergaulan kita tidak menunjang kesadaran kita.

Ya, kesadaran memang rentan, very very fragile! Berapa lama yang kita butuhkan untuk mmenciptakan sesuatu yang indah? Dan, berap lama yang kita butiuhkan untuk merusaknya?

 

Ishq Hakiki

Urutannya memang demikian. Ishq Mijaazi, Ishq Hakiki dan Ishq Illahi. Dari luapan emosi dan nafsu berahi, kita menemukan sesuatu yang haqq, yang sejati, kemudian baru menuju ilahi.

Luapan emosi harus dilewati. Bila tunggu untuk menyelesaikannya, tak akan pernah selesai. Luapan emosi bagaikan laut yang luas dan tak terlihat batasnya. Kita hanya bersandar di salah satu pantainya, terserah pantai mana, silahkan pilih sendiri.

Kita bisa berhenti di Pantai Persahabatan. Kita juga dapat menemukan Pantai Pasangan, Pantai Keluarga – temukan sendiri Pantaimu. Kemnudian setelah itu, baru menemukan “Yang Haqq” – Kebenaran di baliknya, di dalamnya. Menemukan Haqq juga berarti menemukan Allah. Haqq Allah Haqq allah… Hanya Dialah Kebenaran Sejati, Hakiki… Haqq Allah, Haqq Allah, HaqqAllah……

 

Triwidodo

Juli 2008.

2 Tanggapan

  1. “matahari terbenam sama indahnya dengan waktu terbit”, “kematian sama indahnya dengan kelahiran”

    untuk menjadi indah maka diperlukan ” wis yekti bakal layu mula wajib weruh kariyin”

  2. Terima kasih Pak Bambang. Krishna yang mempunyai patih Satyaki bersabda kepada Arjuna, Putera Pandu: Ada yang bersembah lewat harta, lewat tapa brata, lewat pengorbanan, lewat penolakan akan benda-benda duniawi, lewat mempelajari kitab-kitab suci dan lain sebagainya. Ada yang bersembah dengan cara mengendalikan napas mereka. Ada yang berpuasa atau mengendalikan makanan mereka. Mereka semuanya sesungguhnya sedang melakukan persembahan. Mereka yang menjalani kehidupannya sebagai persembahan adalah orang-orang yang mencapai Kesadaran Teringgi. Ada begitu banyak cara persembahan. Sadarlah akan hal ini dan kau akan terbebaskan dari segala macam keterikatan.

Tinggalkan komentar