Memeriksa Visi SBY “Indonesia 2025″


Anand Krishna

http://www.aumkar.org/ind/?p=187

 

Dalam pidato kenegaraannya pada 15 Agustus 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan kemandirian, daya saing dan peradaban yang unggul sebagai tiga faktor penting dalam perkembangan bangsa.

 

Kemandirian Diri Bangsa, atau Nasionalisme dalam bahasa presiden pertama kita Soekarno, tak bisa lagi bertahan di luar bingkai yang lebih besar dari Internasionalime. Kemandirian diri nasional kita harus mengenal kesalingtergantungan antar negara. Dunia kita telah menjadi sebuah kampung global, di mana pun terjadi sesuatu di sudut desa, atau pada penghuni desa, mempengaruhi seluruh desa dan warga kampung.

 

Menanggapi pengeboman JW Marriott dan Ritz-Carlton baru-baru ini, beberapa ahli, analis dan aktivis yang “berpengetahuan” menganggap bahwa pembom tak mempunyai cukup alasan untuk menyerang negara kita, karena Indonesia tak sedang berperang dengan mereka, dan bahwa sebagai gantinya mereka boleh saja membom beberapa negara lain yang berperang dengan mereka, barangkali misalnya USA.

 

Sangat menyedihkan menyaksikan bahkan para “pemikir yang berpengetahuan” kita pun kurang cerdas. Apa yang terjadi pada Amerika, atau pada negara lain di dunia, niscaya mempunyai efek berantai ke seluruh dunia. Kita tak bisa melarikan diri darinya.

 

Sama halnya, sikap pemerintah kita terhadap Myanmar juga mengecewakan. Ketika kita bisa memiliki Misi Palestina di negara kita, kenapa kita tak bisa membiarkan aktivis perdamaian dan demokrasi di Myanmar bertemu di sini? Kenapa kita tak bisa mengijinkan Dalai Lama mengunjungi negera kita dan berkisah tentang penderitaan yang dialami rakyatnya.

 

Saat berbicara tentang kompetisi, saya yakin bahwa konsep Machiavelian dan Sun-Tzuian tak lagi relevan. Ia harus digantikan dengan pendekatan yang lebih manusiawi berdasarkan kebersamaan seperti disampaikan oleh Business Week dalam laporan khususnya (30 Oktober 2006)

 

Uniknya, pendekatan manusiawi semacam itu telah dilihat oleh para bapa bangsa kita. Sukarno menyebutnya gotong royong (berbagi beban bersama) dan Hatta menterjemahkan konsep itu menjadi ekonomi berlandaskan koperasi. Sayangnya, Presiden Yudhoyono tak sekalipun menyebutkan kata itu dalam keseluruhan pidatonya.

 

Ia, kendati demikian, menyarankan untuk memperhitungkan sumber daya kita (tentu saja keduanya baik manusia dan alam), pengetahuan (keahlian), dan budaya untuk pertumbuhan ekonomi kita. Saya mendukung sepenuhnya hal ini, seperti saya juga lakukan pada “peran terbatas” dari pemerintahan (tanpa intervensi),  karena kita baru saja menyaksikan kegagalan total ekonomi barat yang liberal dan desentralis.

 

Presiden Yudhoyono menyarankan produktivitas, adaptibilitas, dan inovasi (yang terpenting pada lapangan teknologi) sebagai faktor penting untuk dikembangkan. Saya memperkirakan bahwa inovasi yang dimaksud ialah kreativitas. Karena inovasi juga bisa berarti perkembangan, atau improvisasi dari sesuatu yang sudah dibuat; sedangkan kreativtas ialah keaslian. Kreativitas itu unik.

 

Kita harus yakin pada “keunikan” kita. Negara ini, seperti negara lain di dunia, ialah unik. Kita punya bagian untuk berkontribusi bagi peradaban dunia seperti halnya negara-negara lain. Kita harus lebih percaya diri.

 

Presiden Yudhoyono mengukuhkan kembali komitmennya kepada ideologi Pancasila sebagai “ideologi yang terbuka dan hidup, sumber inspirasi dan solusi bagi pembangunan bangsa”; dan semboyan bangsa Bhinneka Tunggal Ika atau ” Bersatu dalam Perbedaan” sebagai faktor pemersatu kita.

 

Sekarang mari kita sekali dan selamanya mengakhiri wacana khilafat atau sistem pemerintahan berbasiskan agama. Dan, dengan melakukannya, juga mengakhiri ancaman terhadap persatuan dan integrasi bangsa.

 

Apa yang lebih penting bagi Presiden ialah dari dekat memperhatikan gerakan pendukungnya, beberapa dari mereka secara jelas punya agenda terselubung dan kepentingan pribadi.

 

Kebudayaan kita berakar dalam spiritualitas dan kemanusiaan, bukan dogma dan doktrin dari agama tertentu.

 

Kita tak percaya pada motif politik yang berkedok agama. Bapa bangsa kita memakai Ketuhanan untuk spiritualitas.

 

Presiden Yudhoyono juga berbagi visinya bagi “Indonesia 2025″, ketika, menurut pendapatnya, kita tak lagi menjadi negara berkembang, tapi sudah matang menjadi negara maju. Barangkali ini respon bijaknya atas sebuah laporan yang disusun oleh National Intelegence Council dari Amerika Serikat pada November 2008.

 

Laporan dan hasil penelitian, termasuk prediksi yang disusun oleh beberapa ahli, mengindkasikan bahwa pada tahun 2025 Negara Indonesia dapat terpecah belah. Ancaman itu disebabkan oleh pemuka agama yang fanatik, radikal dan ekstrimis, dan tak hanya dari para teroris dan tindakan kekerasan mereka.

 

Presiden Yudhoyono tampaknya harus memahami ancaman ini dengan jelas. Saya harus berkata, ada yang tak begitu mudah dan sangat ambisius, tapi itu tujuan yang bisa diraih. Bersama, kita bisa mencapainya. Tapi, seperti kita bicara tentang kebersamaan, mari kita tak melupakan “cek dan keseimbangan”, yang paling sering dikutip dalam pidatonya, tanpanya demokrasi tak berarti apa-apa.

 

Mari kita memiliki oposisinya. Mari kita tak takut kepada mereka. “Mereka yang menunjuk kesalahanmu,” ujar Kabir, seorang Sufi Mistik Besar dari abad ke-14, “adalah sahabat sejatimu dan pendamping yang baik.” Karena merekalah, kita dapat berkembang dan maju lebih lanjut.

 

Anand Krishna, Jakarta , Jumat 21 Agustus 2009, Opini

Terjemahan oleh Nugroho Angkasa dari http://www.aumkar.org/eng/?p=175

Tinggalkan komentar