Jangan Lempar Tanggung Jawab, Renungan Keenam Dari Lima Belas Pandangan Hidup Vivekananda


Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan pandangan hidup keenam dari lima belas pandangan hidup Swami Vivekananda. Mereka menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai referensi mereka.

Sang Istri: Renungan keenam….. Jangan main lempar tanggung jawab, jangan menyalahkan orang: Apabila dapat mengulurkan tangan untuk membantu, lakukan. Apabila tidak dapat membantu, berilah restu dan biarkan mereka melakukan dengan cara mereka.

Sang Suami: Apabila dapat mengulurkan tangan untuk membantu, lakukan. Pengetahuan dan keahlian harus digunakan demi peningkatan kesadaran diri dan membantu serta melayani orang lain. Dalam buku “I Ching Bagi Orang Modern” disampaikan bahwa……… Jangan membiarkan pengetahuan dan keahlian anda membusuk. Gunakan demi peningkatan kesadaran diri, juga untuk membantu dan melayani orang lain. Itulah rahasia keberhasilan! Hidup ini bagaikan lahan subur. Orang bijak tak pernah kelaparan, dan tak akan membiarkan orang lain kelaparan. Kau tak kekurangan sesuatu pun. Bahkan kau dapat membantu mereka yang kurang beruntung. Bekerjalah demi kesejahteraan diri dan masyarakat, dan kau  akan berhasil!……. Bagaimana pun dalam kelanjutannya, buku tersebut menyampaikan….. Sebelum membantu orang lain, bantulah diri anda terlebih dahulu. Apabila anda memiliki uang, gunakan uang itu untuk menyejahterakan diri anda, keluarga anda – baru masyarakat sekitar anda. Yang memiliki ilmu, dapat menggunakan ilmunya. Begitu pula dengan ia yang memiliki tenaga, kekuatan otot. la bisa menggunakan kekuatan ototnya…….

Sang Istri: Apabila dapat mengulurkan tangan untuk membantu, lakukan. Apabila tidak dapat membantu, berilah restu dan biarkan mereka melakukan dengan cara mereka……. Adalah tugas, kewajiban serta tanggungjawab kita untuk melayani sesama manusia. Akan tetapi membantu seseorang itu harus secara bijak. Adakalanya kita akan disalahpahami karena perbedaan pandangan yang dimiliki. Apalagi bila kita berupaya membantu menyadarkan seseorang. Dalam buku “Sexual Quotient” disampaikan bahwa……. Manusia selalu menemukan “jenis”-nya untuk berinteraksi, untuk berkumpul. Mereka hanya melakukan apa yang mereka anggap “terbaik”, paling berharga bagi mereka. …  Berbagilah kesadaran dengan mereka. Bila kau menemukan mereka dalam keadaan siap untuk menerima sesuatu yang lebih berharga darimu. Bila kesiapan untuk menerima sesuatu yang berharga itu belum ada, maka salami mereka dan sesegera mungkin tinggalkan mereka. Karena energi mereka juga dapat menyeretmu ke bawah, menyeretmu lagi ke tempat di mana energi seks, nafsu masih membara……..

Sang Suami: Swami Vivekananda mengatakan Jangan main lempar tanggung jawab, jangan menyalahkan orang. Kebiasaan melempar tanggung jawab mengikis rasa percaya diri. Dalam buku “I Ching Bagi Orang Modern” disampaikan bahwa……. Kurangnya “percaya diri” muncul karena kebiasaan kita mencari kambing hitam. Setiap kali ada yang tidak beres, kita menyalahkan orang lain atau keadaan yang kita anggap kurang bersahabat. Kemudian, ada juga yang akan menyalahkan “nasib”. Masih ada lagi yang beranggapan bahwa ia sedang di-“coba” oleh Tuhan. Mereka yang menyalahkan orang lain, keadaan, nasib atau yang beranggapan bahwa Tuhan sedang men-“coba” dirinya, sebenarnya sedang melarikan diri dari tanggung jawab. Mereka sedang mencari pembenaran. Mereka kurang PD – kurang percaya diri.

Sang Istri: Benar suamiku, dalam berbangsa pun kita sering melempar tanggung jawab. Padahal secara langsung atau pun tidak langsung kita telah memilih para pemimpin dan para wakil rakyat. Secara tidak langsung kita telah ikut andil dalam pembuatan perundang-undangan, demikian juga dalam pendidikan generasi muda. Dalam buku “Otak Pemimpin Kita” disampaikan bahwa…… Banyak pendukung partai-partai politik yang merasa tidak ikut memilih seorang pemimpin yang “terpilih”, berusaha untuk membebaskan diri dari tanggungjawab. Sering kita melihat poster-poster “Untung kami tidak memilih si Fulan sebagai pemimpin “. Padahal, kita tidak bisa lepas dari tanggungjawab hanya dengan “merasa tidak bertanggungjawab” atau menggelar poster………

Sang Suami: Swami Vivekananda menghargai adanya perbedaan. Apabila dapat mengulurkan tangan untuk membantu, lakukan. Apabila tidak dapat membantu, berilah restu dan biarkan mereka melakukan dengan cara mereka……… Pandangan hidup seseorang dipengaruhi oleh sifat genetik bawaan, dan pengaruh orang tua, lingkungan, pendidikan dan pengalamannya. Kita harus bijak dan memahami pandangan orang lain. Dalam buku “Masnawi Buku Kedua” disampaikan bahwa…… Pemahaman mereka tentang agama, bagi mereka – pemahaman kamu tentang agama, bagi kamu. Dalam satu agama saja, berjalan pada satu jalur saja, bisa terjadi beda pendapat. Apalagi antara agama yang berbeda, antara jalan yang berbeda. Perbedaan tidak dapat dihindari. Supaya engkau bisa menghormati dan mengapresiasi perbedaan, itulah Kehendak-Ku! Setiap jalan menuju Aku. Bukan hanya yang lurus, tetapi juga yang tidak lurus, penuh belokan. Di luar Aku, tak ada sesuatu yang dapat kau tuju. Dengan mengambil jalan lurus, engkau akan lebih cepat sampai kepada-Ku. Dengan mengambil jalan yang tidak lurus, penuh belokan, engkau akan membutuhkan waktu yang lebih lama. Dan masing-masing harus mempertanggungjawabkan pilihannya………..

Sang Istri: Benar suamiku, setelah memahami pandangan setiap orang yang berbeda karena pengalaman hidupnya, maka kita akan dapat menghormati pandangan orang lain. Dalam buku “Ah Hridaya Sutra” disampaikan bahwa……. Tuhan itu satu Ada-Nya, Kendati dimuliakan dengan berbagai nama, Allah, Buddha, Yehovah, Bapa di Sorga, Tao, Widhi, Satnaam, Ahura Mazda dan masih sekian banyak nama lain yang Ia miliki. Agama hanyalah jalan menuju kepada-Nya. Setiap jalan valid adanya. Setiap jalan benar adanya. Tidak ada yang salah, sehingga tidak perlu ganti jalur. Hendaknya setiap orang meneruskan perjalannya pada jalur yang sama, karena tujuannya satu dan sama……..

Sang Suami: Benar istriku, Swami Vivekananda menghormati adanya perbedaan pandangan, sehingga sering muncul pertanyaan, kita ini berada dalam jalur yang benar atau yang salah. Dalam buku “Neospirituality & Neuroscience” disampaikan tanggapan dari pertanyaan yang sering muncul tersebut……. Pertanyaan ini muncul dari seseorang dalam penelitian kami, “Bagaimana saya mengetahui bahwa jalur yang pernah saya pilih itu adalah jalur yang tepat dan jalur yang saat ini saya tempuh adalah jalur yang salah?” Jawabannya adalah pertama, tidak ada jalur yang salah. Persoalannya, jalur itu tepat atau tidak bagi diri kita. Semua jalur bagus dan baik. Tetapi ada yang tepat bagi kita dan ada yang tidak tepat. Kedua, bila jalur yang saat ini sedang ditempuh adalah jalur yang tepat maka seseorang tak akan menoleh ke belakang lagi. Tidak akan ada kegelisahan dan keraguan. Malah yang ada rasa syukur, “Ternyata jalur pertama itu berhasil mengantar saya ke tahap berikut.” Seorang yang telah menemukan jalur hidupnya tak akan menjelek-jelekan jalur yang pernah ditempuhnya. la tidak akan mencari kesalahan, kelemahan, kejelekan dari jalur sebelumnya. la menerimanya sebagai anak tangga pertama yang mengantarnya ke anak tangga berikut. Ketiga, seseorang yang menjelek-jelekkan pengalaman sebelumnya, sesungguhnya menderita penyakit kurang percaya diri. la sedang berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa jalur baru yang dipilihnya itulah jalur yang tepat bagi dirinya……….

Sang Istri: Membantu seseorang harus dengan cerdas. Apakah bantuan tersebut akan meningkatkan kesadarannya? Dalam buku “Otak Pemimpin Kita” disampaikan bahwa……. Orang bisa saja merasa kasihan dan melempar recehan. Tindakan ini sebenarnya hinaan bagi harga diri. Anda harus bekerja untuk penghidupan, melayani untuk memperoleh reputasi dan pengakuan, membuktikan bahwa diri Anda memang manusia yang patut dihargai. Kita menentukan harga diri kita, juga harga diri orang lain. Umumnya kita menaruh harga sangat tinggi bagi diri sendiri, dan sangat rendah bagi orang lain. Kita mudah tersinggung karena menaruh harga terlalu tinggi bagi diri sendiri. Mudah kecewa, mudah sakit hati, sedikit-sedikit merasa dihina dan menghina kembali… semua karena harga diri……… Dalam buku “Narada Bhakti Sutra” disampaikan……. Banyak yang tidak peduli apakah informasi yang mereka sampaikan itu “mengutuhkan” jiwa atau justru sebaliknya, membagi, mengkotak-kotak dan mencabik-cabik jiwa. Jiwa sendiri sudah tidak utuh, kemudian ketidakutuhan itu pula yang kita tularkan kepada orang lain.

Sang Suami: Para Master menganjurkan kita membantu namun jangan berharap bantuan tersebut akan dimanfaatkan seratus persen sebagaimana mestinya.  Dalam buku “Kidung Agung Melagukan Cinta Bersama Raja Salomo” diuraikan tentang harapan………. Hidup Tanpa Harapan? Mustahil. Hidup Tanpa Berharap? Sangat mungkin. Harapan ibarat angin, ibarat udara. Kita tidak dapat hidup tanpa angin, tanpa udara. Kita tidak dapat menafikannya. Hidup dalam harapan tidak menjadi soal. Persoalan muncul ketika kita mulai berharap, ketika kita mulai “mengharapkan” sesuatu. Bila kita “mengharapkan” angin segar, dan angin yang kita peroleh tidak segar, kita kecewa. Bila kita “mengharapkan” kesejukan, dan yang kita peroleh adalah kegerahan, maka kita gelisah. Hidup dalam harapan berarti hidup “dalam ruang berudara, berangin.” Dan kita tidak perlu mengharapkan hal itu, karena udara ada di mana-mana. Bila sebuah harapan diuraikan, dijelaskan, dimunculkan sifat-sifatnya, diberi embel-embel, dibandingkan dengan sesuatu yang lain, itulah awal kekecewaan dan kesengsaraan. Hiduplah dalam kasih Tuhan, maka kita akan hidup bahagia, damai, dan ceria. Tapi bila kita hidup dengan mengharapkan kasih Tuhan, bersiap-siaplah kecewa, karena definisi kita tentang kasih tidak selalu sama dengan kehendak-Nya yang penuh kasih…….. 

Sang istri: Agar kita lebih bertanggung jawab terhadap masyarakat dan terhadap bangsa, buku “Total Success” menganjurkan agar…….. Bergaullah dengan mereka yang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi. Mereka yang selalu bersemangat, tidak loyo, tidak bersembunyi dan mencari aman di balik dalih positive thinking, tetapi mereka yang bersikap positif dalam pengertian holistik terhadap hidup ini. Sense of Responsibility must be Defined as Corporate and Individual National Responsibility, and not just Social Responsibility. Tanggung jawab bukanlah terhadap masyarakat saja, tetapi terhadap bangsa secara utuh. Bergaullah dengan mereka yang sudi melayani Ibu Pertiwi dan setiap anaknya, entah dia beragama apa, bersuku apa, berbahasa apa, tinggal di mana, dan memiliki kepercayaan apa. Kita membutuhkan para pedagang, para politisi, para diplomat, pejabat, profesional, pendidik dan… dan … yang berjiwa nasionalis. Kita butuh orang-orang yang bangga mengaku diri sebagai Bangsa Indonesia, dan menempatkan identitas diri itu sebagai satu-satunya identitas dalam hal bermasyarakat……. Semoga.

Terima Kasih Guru Jaya Guru Deva!

Situs artikel terkait

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

https://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Agustus, 2010.

Tinggalkan komentar