
Stop Press: Sisters n Brothers terkasih, tanpa terasa kita sudah mendalami Renungan Bhagavatam dalam 56 artikel. Berhubung kesibukan kami, maka kami akan menghentikan sharing Renungan Bhagavatam dalam FB, kompasiana dan blog-blog lainnya. Mohon doa restu semoga akhir Oktober 2011 sudah terbit Buku Renungan Bhagavatam dalam versi yang lebih lengkap. Artikel ini sebagai penutup sharing Renungan Bhagavatam dan sampai jumpa dalam bentuk buku.
Salam Kasih __/__
Pada suatu hari Krishna dan teman-temannya menggembala sapi-sapi ke arah Sungai Yamuna. Balarama kali ini tidak menemani mereka. Krishna dan temannya bermain-main di tepi hutan dan karena hari sangat panas, beberapa teman Krishna kehausan dan pamit mencari minum ke Sungai Yamuna. Akan tetapi kali ini mereka salah jalan dan masuk ke daerah bahaya di Danau Madu. Di dasar Danau Madu tinggallah ular cobra raksasa berkepala lima bernama Kaliya yang hidup bersama beberapa istrinya. Kaliya mengeluarkan racun yang berbahaya yang memenuhi danau tersebut dan bahkan sedikit demi sedikit air dari danau sudah mulai mencemari Sungai Yamuna. Sungai Yamuna mengalir ke hilir melalui Kota Mathura tempat Kamsa dan di hilirnya lagi melalui Kota Hastinapura. Semua tanaman disekitar danau terkena polusi dan pada kering. Burung-burung yang melintasi danau pun pada jatuh terkena uap beracun yang berada di atas danau.
Setelah lama menunggu teman-teman mereka yang pergi ke sungai dan tidak balik, Krishna dan teman-temannya mengikuti jejak teman-teman mereka dan sampailah mereka di danau Madu. Krishna melihat teman-teman mereka pingsan dan segera meminta teman-temannya memindahkan mereka menjauhi danau. Krishna segera memanjat Pohon Kadamba di tepi danau. Pohon besar yang kering tanpa daun tersebut tetap bertahan hidup. Teman-teman Krishna melihat Krishna sampai di pucuk pohon dan segera meloncat ke dalam danau. Semua teman-temannya khawatir akan keselamatan Krishna, dan ada yang lari ke desa memanggil Nanda, Yashoda dan orang-orang tua para gembala. Cukup lama Krishna berada di dasar dan tiba-tiba muncul di permukaan danau diserang oleh Kaliya. Dan terjadilah perkelahian yang seru. Krishna sangat lincah dan tahan uap beracun yang dikeluarkan oleh Kaliya. Pada akhirnya Krishna menari-nari di atas lima kepala Kaliya. Kaliya kelelahan dan dari mulutnya keluar darah karena telah kehabisan racun berbisanya. Kaliya sadar bahwa bila Krishna ingin membunuhnya, maka dia akan mati dengan mudah. Para istrinya keluar dan mohon pengampunan dari Krishna. Nanda, Yashoda dan para gembala bersorak sorai melihat Krishna menari-nari berlompatan di atas lima kepala Kaliya. Akhirnya Krishna berkata, “Kaliya, kau kumaafkan, akan tetapi segera pergi dari danau ini bersama istrimu ke tempat tinggalmu di Pulau Ramanaka. Kau tak perlu takut Garuda mengejarmu, melihat bekas tapak kakiku di kepalamu, Garuda akan melepaskanmu. Hiduplah yang baik, karena semua racunmu telah habis…….
Dalam Buku “The Gita Of Management, Panduan Bagi Eksekutif Muda Berwawasan Modern”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2007 disampaikan….. bahwa Kaliya adalah Kalaa Yavan, Si Hitam yang berasal dari Yunani yang berupaya melemahkan kerajaan-kerajaan di India dengan meracuni Sungai Yamuna, dengan jalan masuk ke daerah pedalaman dan membuang racunnya sedikit demi sedikit. Dan, setelah Kaliya ditaklukkan dia lapor kepada Raja Yunani sehingga selama dua abad negara yang ekspansionis pada masanya tersebut tidak mengganggu India………
Sebagian Master memaknai Kaliya yang berkepala lima sebagi bahaya yang mengendap dalam pikiran manusia. Di danau pikiran manusia ada ular cobra raksasa beracun dengan lima kepala terus mengintai, menunggu kelalaian manusia. Kelima kepala ular cobra raksasa tersebut adalah amarah, keinginan, keserakahan, keterikatan dan keangkuhan. Ketika manusia selalu ingat pada Tuhan dengan penuh penghayatan, maka ular cobra berkepala lima akan keluar dari kedalaman danau pikiran dan nampak di permukaan. Kemudian ular cobra tersebut dapat dibuat menjadi tenang…….. Dalam buku “Masnawi Buku Kedua Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki Pintu Gerbang Kebenaran”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2000 disampaikan…….. Tobat berasal dari suku kata taubah yang berarti “kembali”. Kembali pada diri sendiri, kembali meniti jalan ke dalam diri. Bertobat berarti “sadar kembali.” Dan, untuk meniti jalan ke dalam diri, untuk sadar kembali, dibutuhkan energi yang luar biasa. Sementara ini, seluruh energi kita habis terserap oleh perjalanan di luar diri. Rumi mengingatkan kita: Jangan pikir engkau bisa melakukan apa saja, kemudian bertobat dan selesai sudah perkaranya. Kalaupun taubah diterjemahkan sebagai “penyesalan”; yang menyesal haruslah hati, jiwa. Bukan mulut. Di atas segalanya, “penyesalan” berarti “kesadaran untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.”………….. Renungkan sebentar: Kesalahan-kesalahan yang kita buat mungkin itu-itu juga. Lagi-lagi kita jatuh di dalam lubang yang sama. Dalam hal membuat kesalahan pun rasanya manusia sangat tidak kreatif. Karena, sesungguhnya tidak banyak kesalahan yang dapat anda buat. Pendorongnya, pemicunya pun tidak terlalu banyak. Keinginan, amarah, keserakahan, keterikatan dan keangkuhan ya Panca-Provokator-itulah yang mendorong kita untuk berbuat salah. Yang kita sebut nabi, atau avatar, atau mesias, atau buddha telah menguasai kelima-limanya. Kita belum. Lalu, setelah menguasai kelima-limanya tidak berarti mereka tidak pernah berkeinginan atau marah. Mereka pun masih punya keinginan-setidaknya untuk berbagi kesadaran dengan kita. Mereka pun bisa marah kalau kita tidak sadar-sadar juga, padahal sudah berulang kali kupingnya dijewer. Keserakahan dan keterikatan mereka malah menjadi berkah bagi kita semua. Sampai mereka harus menurunkan kesadaran diri untuk menyapa kita, untuk membimbing kita, untuk menuntun kita. Kenapa? Karena mereka ingin memeluk kita semua. Keserakahan kita sebatas mengejar harta dan tahta; keserakahan mereka tak terbatas. Mereka mengejar alam semesta dengan segala isinya. Mereka ingin memeluk dunia, karena “tali persaudaraan “, karena “ikatan-persahabatan” yang mereka ciptakan sendiri. Keangkuhan dalam diri mereka merupakan manifestasi Kesadaran Diri. Ketika Muhammad menyatakan dirinya sebagai Nabi, dia tidak angkuh. Ketika Yesus menyatakan dirinya sebagai Putra Allah, dia pun sesungguhnya tidak angkuh. Ketika Siddhartha menyatakan bahwa dirinya Buddha, sudah terjaga, dia pun tidak angkuh. Ketika Krishna mengatakan bahwa dirinya adalah “Manifestasi Dia yang Tak Pernah Bermanifestasi, dia pun tidak angkuh. Keakuan kita lain – Ke-“Aku”-an mereka lain. Yang tidak menyadarinya akan membatui Muhammad, akan menyalibkan Yesus, akan meracuni Siddhartha, akan mencaci-maki Krishna……… Baca lebih lanjut →
Filed under: catatan pribadi, renungan diri, wayang | Tagged: bhagavata purana, krishna, wayang | 4 Comments »