Negara Pengimpor Kecap

 

Malam Rabu Kliwon itu Pakdhe Jarkoni sedang minum teh anget-legi-kenthel, hangat-manis-kental di warung Pak Sartono. Sambil menunggu Pak Sartono memasak mie rebus, Pakdhe Jarkoni ngobrol dengan Lik Darmo, seniman berambut panjang yang masih punya sawah tinggalan orang tua di Gathak, Kabupaten Sukoharjo.

 

Lik Darmo: Pakdhe, 20 tahun yang lalu kalau minum teh pakai teh cem-ceman, daun teh diseduh dengan air panas, sekarang sudah pakai teh celup Sariwangi. Ada kemajuan ya Pakdhe, agar Pak Sartono mudah membuatnya.

 

Pakdhe Jarkoni: Kemajuan bagaimana to Lik Darmo? Tulisannya Sariwangi, iklannya di tivi juga oleh artis Indonesia, tetapi yang membuat perusahaan multi nasional. Padahal tehnya juga dari Indonesia. Yang bekerja juga juga pekerja Indonesia, yang untung bukan perusahaan Indonesia, bingung aku?!?

 

Lik Darmo: Begitu to Pakdhe, katanya kedelai juga impor? Jangan-jangan mie instan yang kita gandrungi juga bukan produk perusahaan dalam negeri?

 

Pakdhe Jarkoni: Sudahlah, itu kecap kesenangan Lik Darmo, cap Bango, kemudian kecap ABC, Aqua, Ades, Taro, Nyam-Nyam, SGM bahkan rokok Dji Sam Soe, semuanya produk perusahaan multinasional.

 

Lik Darmo: Oallah Pakdhe, kita ribut soal Ahmadiyah, tetapi perekonomian kita semakin terpuruk tanpa usaha nyata. Kita yang katanya negara agraris, saya juga masih punya sawah warisan seperempat hektar, kok sudah tergantung dari produk luar negeri. Mengapa mereka tertarik untuk masuk ke negara kita pakdhe?

 

Pakdhe Jarkoni: Mereka tertarik dengan Indonesia, karena jumlah penduduk Indonesia yang besar, pendapatan penduduk juga meningkat, kemudian 12 % penduduk kota berpenghasilan tinggi dan membutuhkan makanan yang berkualitas. Jelas itu pangsa yang menggiurkan.

 

Lik Darmo: Tolong dijelaskan Pakdhe, mengapa kita sampai mengimpor!

 

Pakdhe Jarkoni: Mbok ya Lik Darmo maos, membaca Koran. Negara-negara maju memberikan subsidi pangan yang besar, sehingga hasil produknya berharga murah. Karena harga yang murah, para petani kita menjadi malas bertani, untungnya kecil, bahkan bisa merugi. Akibatnya kita tergantung produk impor. Selanjutnya ada isu substitusi energi dari nabati, BBM dari produk pangan, maka harga pangan meningkat, dan kita yang pemakan tempe ini mengeluh harga tempe melonjak. Kemudian kita bebaskan bea impor beberapa produk termasuk kedelai, dan petani semakin runyam.

 

Lik Darmo: Di setiap perempatan jalan, sekarang banyak foto-foto besar calon pemimpin yang berlomba merebut simpati masyarakat, semoga mereka sadar bahwa negara kita hanya negara agraris dalam statistik. Kita tergantung impor. Gusti, mugi paring berkah dumateng Ibu Pertiwi. Eling mas-mbak Eling. Wungu mas-mbak wungu. Arjuna-Srikandi bangkitlah.

 

Triwidodo

September 2008