Renungan Kisah Pada Relief Dinding Candi Mendut Tentang Kera dan Buaya

Pada Candi Mendut terdapat banyak relief pada dinding batu. Mengkisahkan beberapa cerita tentang hewan yang dikenal masyarakat pada zaman dahulu. Tersebutlah kisah tentang Kera dan Buaya pada sebuah relief dinding itu……. Sepasang suami istri setengah baya sedang santai membicarakan kisah mereka. Kemudian mengkajinya dengan referensi buku “Otak Para Pemimpin Kita, Dialog Carut Marutnya Keadaan Bangsa” dan “Bhaja Govindam, Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara”, karya Bapak Anand Krishna.

Sang Istri: Di atas pohon mangga di tepi sungai besar hiduplah seekor kera. Pada suatu hari seekor buaya jantan datang minta mangga kepada Sang Kera. Beberapa butir mangga diberikan Sang Kera kepada Sang Buaya. Sang Buaya berterima kasih dan mohon diizinkan datang lagi kala memerlukannya. Akhirnya terjadilah persahabatan antara Sang Kera dan Sang Buaya. Seekor buaya betina, istri Sang Buaya Jantan dapat merasakan bahwa suaminya menjadi lembut karena banyak makan mangga dan sering lupa membawakan ayam dan angsa sebagai santapan bagi dirinya. Sang Buaya Betina tidak ingin suaminya terpengaruh oleh persahabatan dengan Sang Kera. Maka Sang Buaya Betina membuat tipu muslihat untuk membunuh Sang Kera. Pada suatu hari, Sang Buaya Betina bilang kepada suaminya bahwa dia sedang sakit parah dan obatnya adalah jantung seekor kera. Sang Buaya Betina bersandiwara bahwa dia segera meninggal bila tidak makan jantung kera. Sang Buaya Jantan berada dalam dilema. Seekor kera yang baik hati selalu memberi mangga dan sudah menjadi sahabatnya. Tetapi istri tercinta segera mati apabila tidak makan jantung kera…….. Akhirnya Sang Buaya Jantan mengundang Sang Kera untuk datang ke seberang sungai tempat tinggalnya. Dikatakan di seberang sungai terdapat pohon apel dan juga pohon nangka. Sang Kera diminta naik ke atas punggungnya. Sampai di tengah sungai, Sang Buaya Jantan mulai menyelam, dan Sang Kera bertanya mengapa dia tega bertindak sedemikian kejinya. Sang Buaya Jantan berkata bahwa istrinya sedang sakit parah dan harus makan jantung kera sebagai obatnya. Sehingga dia harus melakukan hal demikian pada Sang Kera……. Kemudian Sang Kera berkata, bahwa dia selalu memberikan apa saja yang diminta Sang Buaya. Sang Kera memberi tahu sebuah rahasia, bahwa dia selalu meloncat dari ujung dahan ke dahan lainnya, sehingga membawa jantung di badan sangatlah riskan. Dia menyembunyikan jantungnya di sebuah dahan yang tertutup oleh kerimbunan dedaunan. Sang Buaya diminta segera kembali menepikan ke dekat pohon mangga agar dia dapat segera mengambil jantungnya untuk diserahkan. Sang Buaya percaya dan membawa Sang Kera kembali ke tepi sungai yang segera melompat ke pohon mangga dan naik ke salah satu dahan. Sang Kera menyampaikan bahwa bahwa Sang Buaya Betina tidak punya perasaan. Sedangkan Sang Buaya Jantan tidak mengerti arti persahabatan. Sang Buaya Jantan melongo merasa dipermainkan. Tetapi dia tak dapat memanjat pohon mengejar Sang Kera yang sudah terbebas dari ancaman kematian…… Konon ceritanya dalam beberapa kali kehidupan Sang Kera lahir menjadi Sang Buddha, dan Sang Buaya Jantan menjadi Dewadatta. Sedangkan buaya betina lahir menjadi ratu Cinca……..

Sang Suami: Sang Buaya Jantan rela melakukan hal yang tidak terpuji, hanya demi menyenangkan pasangannya saja. Kita perlu merenungkan sifat buaya yang masih ada dalam diri kita. Intelegensia binatang masih begitu rendahnya. Mereka baru mampu memahami, “apa” yang harus dimakannya, dan apa yang tidak, “siapa” yang harus dikawininya, dan siapa tidak dikawininya. Dan, pilihan perkawinan mereka masih sederhana sekali, antara jantan dan betina. Seekor binatang jantan mencari betina, dan yang betina mencari yang jantan, kriterianya hanya satu, lawan jenis, itu saja……. Bila kita hidup semata-mata untuk memenuhi insting kita, maka sesungguhnya kita masih menjadi binatang, taruhlah binatang plus, karena kita sudah berbadan seperti manusia. Sebagai binatang plus, kita sudah memiliki mind yang cukup berkembang, mind yang dapat menciptakan, sehingga kita mampu menghiasi, memoles insting-insting kita. Kita bisa mengelabui orang lain, sehingga binatang di dalam diri kita menjadi lebih buas, lebih bengis dan lebih ganas dari binatang sesungguhnya. Kebuasan binatang masih terbatas, kebuasan kita tak terbatas karena ketakterbatasan kemampuan mind kita. Demikian diuraikan dalam buku “Otak Pemimpin Kita”. Baca lebih lanjut

Renungan Tentang Kisah Brahmana Dan Kepiting, Yang Terdapat Pada Relief Dinding Candi Mendut

Pada relief candi Mendut terdapat relief tentang fabel atau cerita hewan. Salah satu relief adalah kisah tentang seekor kepiting di gunung dan seorang Brahmana yang sedang melakukan persembahan. Sepasang suami istri setengah baya sedang santai membicarakan kisahnya. Kemudian mengkajinya dengan referensi buku-buku Bapak Anand Krishna.

Sang Istri: Adalah seorang brahmana bernama Dwijeswara. Ia terkenal sangat bijaksana. Sang Brahmana sedang bersembahyang di gunung dan berjumpa dengan seekor kepiting yang bernama Astapada. Sang Kepiting mungkin tersesat dan sampai di puncak gunung dalam keadaan kelelahan dan kehausan. Hati Sang Brahmana terketuk melihat makhluk yang berada dalam kesusahan dan kebingungan. Kepiting tersebut oleh Sang Brahmana dimasukkan dalam buntalan pakaian dan dibawa berjalan. Setelah beberapa lama, Sang Brahmana tiba di sebuah sungai dan Sang Kepiting dilepaskan. Sang Brahmana capek, beristirahat di atas batu datar dan ketiduran. Ia tidur dengan nikmat dan perasaan yang nyaman. Sang Brahmana bersyukur dianugerahi kesadaran sehingga dapat menyelamatkan makhluk yang sedang berada dalam penderitaan. Seekor ular dan seekor burung gagak sedang berencana melakukan kejahatan. Kepada burung gagak, ular minta diberitahu apabila ada orang ketiduran di atas batu. Dia akan datang untuk memangsa orang itu. Tak berapa lama burung gagak melihat seorang brahmana sedang tidur di sana. Burung gagak menemui ular dan berkata ada manusia sedang tidur di sana. Silakan memangsanya hanya burung gagak minta disisakan matanya untuk menjadi santapan siangnya. Begitulah perjanjian mereka. Sang Kepiting Astapada mendengar pembicaraan mereka. Kedua hewan itu sama-sama buruk kelakuannya. Maka Sang Kepiting mendatangi mereka. Wahai kedua temanku percayalah kepadaku, aku akan berusaha memanjangkan leher kalian. Agar kalian lebih dapat menikmati santapan. Mereka setuju dengan usul Sang Kepiting, dan diminta mendekatkan lehernya. Saat keduanya menyerahkan leher untuk dipanjangkan, maka kedua leher tersebut disupit oleh Sang Kepiting dan keduanya mati seketika.

Sang Suami: Menghadapi sebuah masalah berarti seseorang harus mengambil keputusan dari dua kelompok pilihan. Kelompok pertama menggunakan pikiran, dia akan berpikir dan mencari referensi di gudang ingatan. Satu keputusan yang akan diambil, selalu ditentang keputusan lainnya, bahkan oleh keputusan yang berlawanan. Bertimbang-timbang menyebabkan keraguan. Sebetulnya ingatan itu terbentuk oleh kumpulan pengalaman. Sudah betulkah pengalaman yang kita simpan? Konon jumlah informasi dalam suatu pengalaman jumlah bytes-nya ada jutaan. Sedangkan yang bisa masuk gudang ingatan bytes-nya terbatas hanya sekitar dua puluhan. Jadi pengalaman yang disimpan pun belum mengungkapkan kesempurnaan. Pengalaman yang disimpan merupakan pengalaman yang dipilih oleh pikiran. Sungguh tepat sekali SMS Wisdom yang berbunyi, “Kau tidak melihat dunia sebagaimana adanya. Kau melihat dunia sebagaimana pikiran memaksamu untuk melihatnya”…….. Kelompok kedua tidak menggunakan pikiran, tetapi menggunakan berbagai istilah, seperti suara hati nurani, atau pikiran jernih, atau inspirasi atau petunjuk Ilahi. Pertanyaannya adalah bagaimana membedakan antara pikiran yang datang dari gudang ingatan dengan inspirasi yang berasal dari Ilahi……. Sebuah gelas yang penuh terisi tak dapat menerima tambahan air lagi. Sebagian isi lamanya harus dibuang agar dapat diberi tambahan lagi. Untuk menerima inspirasi, seseorang harus melakukan pembersihan diri. Membuang semua pola pikiran lama yang telah menjadi referensi. Pembersihan harus dilakukan setiap hari. Dan energi Ilahi akan masuk ke dalam diri sebagai pengganti. Seseorang harus bertanggung jawab penuh atas peristiwa yang terjadi. Melakukan penyesalan atas kekeliruan diri dan mohon ampun pada Ilahi. Kemudian bersyukur kepada Ilahi dengan jalan melayani dan mengasihi. Sang Brahmana memilih menggunakan inspirasi atau petunjuk Ilahi. Kepiting yang berada dalam kesusahan dibawanya pergi. Akan dilepaskan setelah ketemu sebuah sungai nanti. Baca lebih lanjut