Aksara Jawa Ha Na Ca Ra Ka, Da Ta Sa Wa La, Pa Dha Ja Ya Nya, Ma Ga Ba Tha Nga dimaknai oleh masyarakat sebagai ada utusan, yang berbeda pendapat, masing-masing berkelahi mempertahankan pendapatnya dan kedua-duanya menemui kematian. Pandangan ini sudah mempengaruhi keyakinan orang Jawa. Pandangan tersebut mengandung kebenaran yang kemudian ditegaskan lagi dengan peribahasa kalah jadi abu dan menang jadi arang. Dua-duanya, baik yang kalah maupun yang menang akan hancur. Hanya saja kita kemudian tidak belajar menyelesaikan konflik, dan kita cenderung menghindari perbedaan pendapat. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh atasan atau penguasa untuk memaksakan pendapatnya. Pendapat yang berbeda dianggap menentang, sehingga sering terjadi ketidakpuasan bahkan kebencian yang menumpuk dalam masyarakat. Bila terjadi suatu peristiwa yang menyulutnya, maka bisa jadi terjadi pergolakan yang berdarah-darah. Dan masyarakat melihat bahwa dalam jangka waktu tertentu, bangsa kita sering mengalami hal tersebut.
Pergantian kekuasaan sering menimbulkan ketidakpuasan bagi pihak yang merasa berhak memperolehnya. Ketidakpuasan ini bisa berakibat munculnya pergolakan. Kerajaan Majapahit menjadi lemah karena serentetan perang saudara, sehingga bisa dikalahkan Kerajaan Demak. Di Kerajaan Demak juga terjadi ketidakpuasan dalam pergantian pimpinan kerajaan, hingga terjadi perang saudara dan Kerajaan Demak jatuh dan kerajaan pindah ke Pajang. Dan Kerajaan Pajang pun harus bertempur dengan Kadipaten Demak sehingga Kerajaan Mataram pun berdiri. Tercatat bahwa VOC berhasil menaklukkan Mataram melalui politik “Devide et Impera”, terjadinya perang saudara untuk memperebutkan kekuasaan, dan Kerajaan Mataram akhirnya terbagi-bagi dalam kerajaan-kerajaan yang lebih kecil. Bangsa kita kurang ahli dalam mengelola konflik. Silakan baca http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/15/pengaruh-trauma-aksara-jawa-introspeksi-esoteris-perpecahan-kerajaan-mataram-di-zaman-voc/
Apakah kita tidak belajar dari sejarah? Apakah kita melupakan peringatan Filosuf George Santayana, “Mereka yang tidak dapat belajar dari sejarah dikutuk untuk mengulanginya.” Pada tahun 1977 Mochtar Lubis menyampaikan ciri-ciri manusia Indonesia. Penyakit terbanyak orang Indonesia adalah sifat ngambekan, dendam, dan mudah sakit hati. Dan, nampaknya sampai kini ciri-ciri tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti. Kita tidak terbiasa mengelola konflik dan lebih suka ngambek. Hal itu disebabkan keyakinan bahwa aku benar……… walaupun pihak lain menang tetapi mereka tidak benar…….. dan kemudian ngambek. Kita telah terbuai berabad-abad tidak berpikir kritis, bagaimana atasan, bagaimana orang tua, bagaimana senior saja. Kombinasi paternalistik dan feodalisme yang akut. Dan bila mereka kemudian dianggap tidak benar, maka kita memendamnya. Memendamnya sampai bertumpuk-tumpuk dan akhirnya meletus. Bapak Anand Krishna pada Program Ancient Indonesian History And Culture (http://history.oneearthcollege.com/) dari One Earth College of Higher Learning (http://oneearthcollege.com/) dalam salah satu materinya menyampaikan………. Secara kejiwaan mereka: menghindari pertukaran pendapat; memendam kemarahan; mengingatkan orang yang dituakan dianggap membantah dan tidak sopan; takut terjadi salah paham; dan takut berbuat kesalahan di luar petunjuk. Kelima hal ini menjadi semacam etika tidak tertulis bagi para pengguna bahasa “HaNaCaRaKa”. Tidak ada yang salah jika kelima nilai di atas ditempatkan pada porsinya yang pas. Memang sebaiknya kita menghindari debat kusir, kemarahan, asal kritik, kesalahpahaman, dan melakukan sesuatu asal sesuai yang tertulis tanpa mengerti esensi latar belakang penulisan…….. Tetapi trauma berkepanjangan ini telah menjadikan penerapan nilai-nilai ini menjadi semakin berlebih-lebihan dari generasi ke generasi. Menjadi semakin kaku dari generasi ke generasi sehingga mematikan inisiatif, diskusi dan kebebasan berpikir. Dan lagi-lagi hal ini merupakan makanan empuk para atasan yang korup/penguasa yang rakus yang menyalahgunakan kepatuhan dan kepasifan rakyatnya/bawahannya untuk dieksploitasi demi mempertahankan kekuasaannya…….. Penerapan nilai yang berlebih-lebihan ini antara lain: Baca lebih lanjut
Filed under: renungan diri | Tagged: anand krishna, ancient indonesian history and culture, Neo Interfaith Studies, Neo Transpersonal Psychology, One Earth College of Higher Learning | Leave a comment »