Sepasang suami istri setengah baya teringat pada cerita yang tertera pada relief Candi Mendut tentang dua bersaudara burung beo dan wanita tidak setia. Karena mereka baru saja membaca buku “Surah Surah Terakhir Al Qur’an Bagi Orang Modern”, karya Bapak Anand Krishna, maka buku tersebut dijadikan referensi dalam mengulas ceritanya.
Sang Istri: Dua bersaudara burung beo ditangkap pemburu dan diserahkan kepada seorang brahmana. Mereka dipelihara dengan sangat baiknya, sehingga walau tidak diikat mereka tidak pergi juga, karena ingin membalas budi pada Sang Brahmana. Pada suatu hari Sang Brahmana pergi keluar kota untuk beberapa lama dan berpesan kepada kedua beo bersaudara. Agar mereka dapat menjaga istrinya. Bila istrinya berbuat tidak baik tolong diingatkan oleh mereka……. Ternyata istri Sang Brahmana tidak setia, setelah Sang Brahmana pergi dia bermain cinta dengan kekasih selingkuhannya. Baik di dalam maupun di luar rumahnya. Beo muda yang masih remaja berkata pada kakaknya yang sudah dewasa. Kakak, kita diminta menjaga istri Sang Brahmana. Dia berpesan agar kalau istrinya berbuat tidak baik kita diminta mengingatkannya. Mengapa kita tidak mengingatkan istrinya? Sang kakak berkata dengan bijaksana. Adikku, kita harus tetap waspada, istri Sang Brahmana terlalu keji. Dia bersifat seperti raksasa yang mau enak sendiri. Kita harus hati-hati dan melihat dengan jeli. Mari kita tunggu Sang Brahmana datang, kita laporkan dan segera pergi. Mungkin Sang Brahmana sudah mencurigai sang istri. Dan, kita diminta memberikan konfirmasi. Menghadapi orang yang keji yang penting menjaga diri, mohon perlindungan dari Ilahi….. Sang Beo Remaja tak bisa menahan diri. Pada suatu hari dia menemui istri Sang Brahmana dan menasehati, mengapa dia melakukan tindakan tidak setia seperti ini? Istri Sang Brahmana berkata, beo remaja yang bijaksana kau benar dalam berkata. Mari ke sini kuelus lehermu. Sebagai rasa terima kasihku. Aku tidak akan selingkuh lagi karena nasehatmu. Istri Sang Brahmana memegang leher beo remaja. Dipuntir lehernya sampai kehilangan nyawa dan badannya dimasukkan api di dapur yang tengah membara…….. Sang Beo Dewasa pura-pura tidak mengetahui kejadian yang menimpa adiknya. Istri Sang Brahmana tetap tidak setia. Saat Sang Brahmana pulang dia bertanya kepada Sang Beo bagaimana kabar istrinya. Sang Beo menceritakan tentang perselingkuhan istrinya. Setelah dia bercerita, dia bilang sekarang tak ada tempat yang aman baginya di rumah Sang Brahmana. Sang Beo pamit terbang ke rimba……. Konon Sang Beo Dewasa pada suatu ketika menitis menjadi Sang Buddha dan adiknya menjadi adalah salah seorang muridnya.
Sang Suami: Istri Sang Brahmana tidak bisa berubah kelakuannya. Dia hidup berkecukupan dari Sang Brahmana, tetapi ingin bersenang-senang dengan kekasihnya. Beo muda yang mengingatkannya malah dibunuhnya. Istri Sang Brahmana masih mengikuti naluri kehewanan dalam dirinya. Binatang harus mengikuti nalurinya. Ia tidak bisa menahan dirinya. Ketika lapar ia akan makan, ketika haus ia akan minum, ketika harus melampiaskan napsu birahi ia akan melakukannya. Tidak perlu suasana, tidak perlu basa-basi, tidak melihat sekitarnya…… Anjing-anjing melakukannya di tengah jalan. Hanya manusia yang dapat melakukan sesuatu dengan kesadaran. la sudah tidak perlu mengikuti naluri bawaan. Mereka yang merasa digoda oleh Setan, lalu bertindak sesuai dengan apa yang mereka sebut bisikan Setan, sesungguhnya sedang mengikuti naluri bawaan. Dan manusia memang memiliki naluri hewan, insting dasar seperti hewan…… Tindakan “semau gue” berasal dari naluri hewani. Setelah berhasil memahami sebagian rahasia DNA manusia dan berhasil memetakannya, para saintis pun bingung sendiri. Ternyata DNA manusia, blue print dasar manusia, rahasia alam semesta berada dalam diri. Setiap orang memiliki “memori” yang bisa ditarik ke belakang sampai asal mula jadi. Setiap manusia memiliki naluri hewani. Dituntun olehnya, tindakannya akan menjadi hewani. Dipengaruhi olehnya, pikirannya akan menjadi hewani. Dikuasai olehnya, ucapan-ucapannya akan menjadi hewani. Baca lebih lanjut
Filed under: dialog ibu pertiwi, kearifan lokal, renungan diri, universalitas | Tagged: anand krishna, budaya, fabel, jataka, relief candi mendut | Leave a comment »