Antara Jalan Dan Tujuan, Renungan Kelima Tentang Berguru


Sepasang suami istri sedang membuka catatan-catatan tentang berguru. Mereka berdiskusi tentang “berguru” sebagai bahan introspeksi. Mereka paham bahwa pengetahuan tak berharga bila tidak dilakoni.Buku “Shri Sai Satcharita” karya Sai das, hamba Sai dan buku-buku Bapak Anand Krishna mereka jadikan sebagai referensi. Mereka mengutip pandangan dalam buku agar tidak kehilangan esensi.

Sang Istri: Suamiku, kita mulai olah rasa kali ini dengan buku “Shri Sai Satcharita” yang menyampaikan bahwa……… Semua guru, dan semua orang suci, semua nabi, dan semua avatar, semua mesias, dan semua Buddha patut dihormati, dan diyakini sebagai percikan dari sumber cahaya yang sama. Esensi ajaran mereka sama. Pesan mereka sama……… Kendati demikian, ada kalanya mereka beda dalam hal penyampaian, ataupun metode. Setiap jalan memang menuju satu tujuan. Kita boleh mengapresiasi setiap jalan, tapi mesti memilih salah satu untuk di “jalani”. Tidak bisa memilih setiap jalan secara bersamaan dan menjalaninya semua pada saat yang sama. Pun tidak perlu bergantian jalan. Setiap panembah yang percaya bila tujuan dari setiap jalan adalah satu dan sama, tidak pernah berpikir pun untuk “pindah jalan”.

Sang Suami: Benar istriku, kita pernah membicarakan bahwa Guru adalah jembatan antara manusia dan Tuhan. Dalam diri Guru, kemanusiaan dan ketuhanan – dua-duanya tampak jelas. Para sufi menggunakan “wujud” murshid sebagai gerbang untuk memasuki Tuhan. Seorang Sadguru sebagai pemandu pribadi mengetahui persis kelemahan, kekurangan, dan kesulitan yang dapat kita hadapi dalam perjalanan. Dalam buku “Shri Sai Satcharita” disampaikan bahwa…….. Para suci ibarat orang tua. Banyak para suci, dan banyak orang tua di dunia semuanya patut dihormati. Kendati demikian, orang tua kita adalah orang tua kita. Guru yang kita yakini sebagai guru pribadi, dialah Sadguru kita. Semuanya menyampaikan hal yang baik. Tetapi Guru kita menyampaikan sesuatu yang tepat bagi kita. Sebab itu, penyerahan diri hendaknya kepada seorang guru yang sepenuhnya kita terima, dan percayai, yakini. Cintailah Guru yang telah kaupilih itu dengan sepenuh hatimu……..

Sang Istri: Suamiku, saya ingat buku “Kehidupan, Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam Diri” yang membicarakan antara jalan dan tujuan dengan tamsil rakit dan pantai……… Jangan salah tanggap rakit sebagai pantai. Sang Penulis buku tidak mengatakan bahwa rakit itu tidak perlu. Setiap orang  memerlukan rakit untuk mencapai pantai. Setiap orang tetap memerlukannya untuk menemukan pantai, untuk menyeberangi lautan kehidupan, melampaui dualitas kelahiran dan kematian. Semua orang akan tetap memerlukan rakit, mereka akan selalu membutuhkannya. Tak pernah terjadi dalam sejarah bahwa rakit tidak diperlukan. Jangan sekali-kali mengatakan bahwa rakit itu tidak perlu. Semua orang tidak bisa mengabaikannya. Mungkin seseorang sudah menyeberangi lautan kehidupan, namun jangan sekali-kali mengabaikan kegunaannya. Tanpa rakit, seseorang tidak akan pernah dapat menyeberangi lautan ini.

Sang Suami: Dalam buku “Kehidupan, Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam Diri” tersebut juga disampaikan bahwa…….. Agama mirip seperti Rakit. Keberadaan atau Tuhan, sebagaimana kita menyebutNya, adalah Tujuan kita. Memang berbeda warna, berbeda ukuran, bahkan berbeda kecepatannya, namun tanpa kecuali semua rakit itu bertujuan satu dan sama – membantu kita menyeberangi lautan kehidupan. Pahamilah hal ini! Agama itu penting, bahkan penting sekali…….. Walaupun sekali-kali kita menemukan seseorang perenang yang hebat: tanpa rakit, tanpa bantuan apa pun ia menyeberangi lautan kehidupan. Entah dari mana ia mendapatkan kekuatan untuk itu? Siapa yang tahu bagaimana la dapat melakukannya, namun kenyataannya adalah bahwa ia berhasil melakukan. la melawan gelombang. Ia mengikuti caranya sendiri. Ia menembus topan dan badai. Anggaplah ini sebagai pengecualian. Ini tidak berlaku umum. Sebagian besar di antara kita akan tetap membutuhkan rakit untuk menyeberangi lautan ini. Bahkan kalau kita merenungkan sejenak, manusia-manusia langka yang dapat menyeberangi lautan tanpa rakit, sebenarnya telah mengubah dirinya sebagai rakit. Mereka telah menjadi rakit. Di antara mereka: Krishna, Zarathustra, Buddha, Laotze, Musa, Yesus, Muhammad, Nanak, dan mereka semua yang kita hormati sebagai Pemandu Jalan……..

Sang Istri: Jangan sia-siakan waktu kita untuk berdebat rakit mana yang lebih baik. Argumentasi kita membuktikan kebodohan kita. Kita belum pernah melihat pantai yang sedang kita tuju, kita belum sampai. Begitu kita sampai di sana, konon kita akan menyesali kebodohan kita selama ini, kita akan menyesal karena terlalu banyak waktu yang  telah kita buang dalam perdebatan untuk hal-hal sepele. Capailah pantai KeEsaan dan Kemuliaan, setelah itu dan hanya setelah itu kita akan menyadari Kebenaran perjalanan hidup ini. Gunakan rakit, gunakan rakit yang telah kita miliki untuk mencapai tujuan hidup kita. Jangan berganti-ganti rakit, kita tidak perlu melakukan hal seperti itu. Hentikan perdebatan, jangan habiskan waktu untuk berdebat saja….. Mulailah perjalanan, gunakan seluruh energi, tenaga untuk meraih tujuan tersebut. Belajarlah keterampilan yang dibutuhkan agar tetap selamat walaupun ditengah-tengah badai, topan, hujan ataupun gelombang dahsyat. Banyak sekali hal yang harus kita lakukan dan kita masih duduk-duduk saja, mengagumi rakit. Pengaguman belaka tidak akan dapat membantu. Kita sibuk menerangkan betapa indahnya rakit kita, ini sungguh menghabiskan waktu dan tenaga. Mulailah berlayar dan ingat selalu kata-kata seorang bijak “Rakit itu bukan pantai”……… Demikian disampaikan dalam buku “Kehidupan, Panduan Untuk Meniti Jalan Ke Dalam Diri”.

Sang Suami: Perbedaan agama dan sistem keyakinan seperti halnya berbagai jalan berbeda yang tujuan akhirnya sama, yaitu Tuhan. Dalam buku “Indonesia Baru” disampaikan…….. Indonesia Baru bebas dari pertikaian antar agama. Karena yang berbeda-beda itu hanyalah akidah agama. Di mata Allah, hanya ada satu agama – yaitu penyerahan diri kita terhadap Kehendak-Nya. Setiap manusia Indonesia Baru menjalankan akidah agamanya masing-masing, tetapi ia tidak lupa akan tujuan akhir yang satu adanya – Tuhan. Ia sadar bahwa akidah-akidah agama yang berbeda hanyalah “jalan-jalan” menuju Tuhan. Dalam kesadaran akan kesatuan seperti itulah, dalam berketuhanan demikianlah, kulihat Indonesia Baru bangkit kembali dari tidurnya yang cukup lama…. lahir kembali untuk bertumbuh menjadi pengayom bagi seluruh rakyat dan bangsa. Indonesia Baru tidak lagi memiliki waktu untuk berdebat tentang agama dan Tuhan. Ia melakoni agama dan senantiasa hidup dalam kesadaran berketuhanan. 

Sang Istri: Dalam buku “The Gospel of Obama” disampaikan bahwa…… Falsafah negara kita menerima berbagai agama dan kepercayaan. Kita memang berbeda-beda, tetapi sekaligus memfokuskan perhatian pada kesatuan.  Konstitusi kita juga menyatakan dengan tegas: “Setiap orang berhak untuk memilih dan menjalankan agamanya masing-masing” dan “menjamin kebebasan beragama, berdasarkan keyakinan/kepercayaannya masing-masing.” Benar, umat Muslim menjadi mayoritas. Dan, hal itu “dulunya” tidaklah menjadi masalah. Pada masa lampau kita tidak pernah mengalami arogansi mayoritas atau inferioritas minoritas. Umat Kristen di sini hidup dengan damai dan berdampingan dengan Umat Muslim, Hindu, Budha, Tao, Konghucu, dan penganut puluhan agama lokal……..

Sang Suami: Dalam buku tersebut juga disampaikan bahwa……. banyak hal yang telah berubah Indonesia dan rakyatnya tidak lagi seperti pada masa kanak-kanak kita dahulu. Indonesia pada masa kanak-kanak kita, merupakan masyarakat yang “bebas fatwa”. Kami menjunjung tinggi religiusitas, spiritualitas, dan nilai-nilai universal yang terkandung dalam semua agama…….. Perbedaan dalam dogma, doktrin, dan ritual diakui, dihargai, dan diapresiasi. “Dulu” kita tidak membiarkan perbedaan itu menjadi halangan dalam berinteraksi sosial. Kita menghargai keragaman sistem agama sebagai titian jalan menuju tujuan akhir yang tunggal dan sama, Tuhan, atau Ketuhanan. Kita rutin berdoa atau tidak, kita taat dalam menjalani ritual atau tidak, kita peduli satu sama lain. Kita mengasihi satu sama lain. Tidak menjadi masalah jika tetangga kita seorang Kristen atau Konghucu, Muslim atau Yahudi, Hindu, atau Buddha, kita benar-benar berbagi kenikmatan. Para penganut kepercayaan dan agama-agama Iokal dihormati sebagai “sesepuh” masyarakat. Sebagian dari praktik agama mereka diadopsi ke  dalam agama “yang lebih muda” dan terintegrasi ke dalam sistem keyakinan dan ritual mereka………

Sang Istri: Saya pernah mendengar darimu bahwa ada pemahaman berbeda dari biasanya bahwa para suci, para mesias, para avatar adalah Duta Besar dari Kerajaan Gusti. Datang mengingatkan para muridnya bahwa jati diri mereka adalah warga negara Kerajaan Gusti bukan warga negara Dunia. Mereka hanya sekedar bertamu di Dunia. Berarti banyaknya  jalan menuju Gusti hanya untuk mengingatkan agar para muridnya menyadari sebagai warga negara Kerajaan Gusti yang sekedar bertamu di Negara Dunia. Agar para murid segera bergegas menapaki jalan yang dipilih menuju tujuan. Pertengkaran antar tamu tidak elok, karena kita berasal dari Kerajaan Gusti yang sama. Berbeda jalan tetapi mempunyai satu tujuan yang sama, Gusti yang sama.

Sang Suami: Menurut kami, Kerajaan Gusti adalah Kerajaan Suci. Peta menuju Kerajaan Suci dinamakan Kitab Suci. Mari kita sucikan pikiran, ucapan dan tindakan kita sesuai panduan Guru Suci yang menjadi Utusan Kesucian.

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

https://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Oktober 2010

Tinggalkan komentar