Judul : ISHQ IBADAT
Saatnya Bertindak Tanpa Rasa Takut dan Meraih Kejayaan
Pengarang : Anand Krishna
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 200
Tebal : halaman
Mutiara Quotation ISHQ IBADAT
Catatan:
Legenda adalah wahana yang luar biasa untuk memasuki wilayah rohani. Dan kali ini disajikan bagi Anda, Suni Mehar, sebuah petualangan cinta yang berasal dari lembah sekitar sungai Sindhu; tepatnya sekitar wilayah Punjab yang sekarang terbagi menjadi dua, sebagian di Pakistan, sebagian di India.
Banyak yang sudah muak dengan praktik agama yang justru memecah belah manusia dengan semangat saling benci. Dalam kisah ini digambarkan cinta yang berubah menjadi pengabdian, sebagai suatu cerminan cinta kepada Allah yang adalah sesuai ibadah.
Salah satu versi dari kisah ini diulas kembali oleh Anand Krishna untuk Anda. Buku ini adalah bagian dari trilogi:
-
Ishq Allah
-
Ishq Ibaadat
-
Ishq Mohabat
Ishq Allah
Ada yang mengaitkan cinta dengan nafsu birahi. Ada yang menerimanya sebagai berkah ilahi. Bagi para sufi, “berjalan” itulah tujuan, dan tujuan adalah Allah – The Path, That is That!
Mereka “memisahkan” Allah dari cinta, dan karena “cinta itu urusan manusia”, manusia pun ikut “terpisahkan” dari Allah.
Sesungguhnya manusia tak dapat dipisahkan dari Allah… seperti sinar matahari tak terpisahkan dari matahari, keindahan tak terpisahkan dari bunga-bunga di taman, dan tarian tak terpisahkan dari seorang penari. Perpisahan hanya terjadi di dalam benak kita, dalam pikiran.
Karena pikiran memisahkan Allah dari manusia, manusia menjadi gelisah. Gelisah karena ulahnya sendiri. Kemudian, ia pun mulai mencari sebab kegelisahannya. Ia mencarinya di barat dan di timur, di utara dan di selatan, di langait atas dan di bumi bawah, tapi sia-sia saja; manusia tetap gelisah. Oh, andai saja ia mencari sebab kegelisahannya di dalam diri, seandainya….!
bila ia mencari di luar diri, dan belum siap meniti ke dalam diri, kadang ia menyalahkan keadaan, kadang orang lain yang disalahkannya. Ia menciptakan sekian banyak sebab yang dianggapnya membuat gelisah. Dalam kegelisahannya itu, ia pun rajin berdoa, rajin sembahyang. Ia tetap menjalani agama sebagaimana ia mengartikannya, namun kegelisahannya tetap tak terobati.
Ada yang membisikinya: “Hatimu tertutup, bukalah hatimu, biarlah angain segar memasuki ruang hatimu… biarlah hatimu berlembab..”
Mereka yang tidak memahami maksud bisikan dan tidak membuka diri, menjadi semakin gelisah. Bagi mereka doa pun menghasilkan kegelisahan, dan kegelisahan melemahkan jiwa mereka. Mereka menjadi penakut.
Selanjutnya, rasa takut membuat mereka semakin alot, keras dan kasar. Mereka pun mulai mencari “rasa aman” di luar diri. Karena itulah, tangan-tangan yang mengangkat senjata dan melakukan aksi teror amat mungkin adalah milik mereka yang takut, sangat takut.
Benih doa yang kau taburkan harus jatuh di atas lahan yang berlembab. Bila lahan jiwamu tidak cukup berlembab, benih doa pun tak akan tumbuh.
Pernahkah kau melihat lahan yang berlembab tanpa tanaman? Di lahan basah, bahkan lahan yang seperti kebanjiran pun, bisa kau temukan tumbuhan. Ada tanaman-tanaman khas air yang tumbuh sendiri tanpa campur tangan manusia.
Ibadah berarti pengabdian. Dapatkah kita mengabdi tanpa cinta? Kita dapat bekerja tanpa cinta, bahkan dapat melayani tanpa kasih. Seorang pekerja, seorang pelayan memperoleh imbalan atas apa yang dilakukannya. Itu belum pengabdian. Cinta, ketika berbuah, menghasilkan pengabdian. Kasih, ketika bertumbuh, menjadi ibadah.
Suni Mehar
Bagi Tula, beragama Islam tidak berarti meremehkan tradisi dan budaya asalnya. Baginya beragama Islam tidak serta merta menerima budaya Arab, atau budaya asing lainnya, dan meninggalkan budaya leluhur.
Izzat berarti “kehormatan”, “harga diri”, sedangkan Tula berarti “yang terkecil”, unit terkecil untuk menimbang emas dan perak. Untuk bertemu dengan Dia, dengan Si Jelita Suhni, terlebih dahulu “harga diri” harus dinafikan. Apa arti “harga diri”, apa yang hendak kita pertahankan? Korbankan segalanya bagi Sang Jelita. Berkorbanlah demi Cinta, demi Kasih.
Kita harus “menjadi satu”, menjadi “utuh”, dualitas harus terlampaui. Itulah yang terjadi dalam kisah ini. Izzat Beg mendatangi Tula. Sesaat lagi “diri” pun akan hanyut dalam Lautan Kasih.
Bila kita tidak siap diasingkan, janganlah sekali-kali mengundang Kasih ke dalam hidup kita. Cukuplah kita berkenalan dan bercengkerama dengan nafsu. Hawa nafsu menjadikan diri kita penduduk dunia yang baik. Hawa nafsu menjadikan diri kita seorang Hamba Tuhan yang sukses, sering muncul di televisi dan memiliki banyak penggemar. Hawa nafsu menjadikan diri kita seorang pemuka sekaligus pengusaha sukses. Hawa nafsu menjadikan kita pengejar surga, ahli surga, atau apa saja sebutannya. Hawa nafsu tak akan menjadikan kita seorang kekasih, karena para kekasih tidak mengejar surga; mereka tidak senang keluar masuk istana. Mereka tidak berurusan dengan keberhasilan duniawi.
Dunia dengan seluruh isinya menciptakan keterikatan. Saat dunia terlepaskan, keterikatan pun sirna, dan seorang Kekasih menemukan dirinya di tengah alam bebas, dalam Alam Kebebasan.
Kebebasan adalah sebutan bagi Kasih. Kasih itu bebas dan membebaskan. Benci mengikat; dan keterikatan menciptakan kebencian. Keterikatan menciptakan dualitas cinta dan benci. Kasih melampaui cinta dan benci. Kasih di atas dualitas cinta dan benci.
Kita dapat mencapai-Nya dengan dua cara, lewat dua jalan: Pertama, seperti yang pertama ditempuh Izzat Beg, yaitu dengan berusaha, berupaya, berijtihad, berjihad dalam arti sesungguhnya, yaitu “berkarya dengan kesungguhan”….. beramal saleh, berdana punia, bertakwa, berdoa, dan sebaginya, dan seterusnya. Kendati demikian, semua itu pun sesungguhnya tidak menjaminbahwa kita dapat mendekati-Nya, karena apa pun yang kita lakukan akan berbuah… yaitu pahala atau ganjaran bagi setiap perbuatan baik, dan apa yang biasa disebut siksaan atau hukuman bagi setiap perbuatan yang tidak baik.sesungguhnya, apa yang kita peroleh sepenuhnya disebabkan oleh hukum aksi reaksi, hukum sebab akibat yang menjadi dasar bagi segala sesuatu dalam dunia.
Belum tentu kita mencapai-Nya dengan cara ini. Paling banter kita mencapai Istana-Nya. Paling-paling kita memperoleh segala kenikmatan surgawi – itu saja.
Kedua, seperti yang akhirnya ditempuh oleh Izzat Beg, yaitu dengan melepaskan segala usaha, dan bersandar pada-Nya, sepenuhna. Declare yaour bankruptcy, aku sudah bangkrut nih…. sekarang, kita sendiri yang menentukan apa yang harus kita buat. Serahkan saja urusan kita kepada Dia.
Banyak orang yang mencari apa yang mereka sebut “keseimbangan” di antara kedua cara tersebut. Mereka mencari Jalan Tengah. Pengalaman saya mengatakan bahwa tidak ada jalan tengah. Bahkan, dari pintu gerbang Istana-Nya sudah tidak ada jalan-jalan lagi. Yang ada hanya satu jalan masuk… Satu, tunggal. Jalan menuju-Nya hanya satu, yaitu Penyerahan Diri.
Kadang “aku” sudah berhadapan dengan-Nya, namun “aku” masih “ingin menikmati”. “Keinginan” untuk menikamti atau untuk apa saja memang dapat membuat kita kebablasan. “Keinginan” untuk menikmati pertemuan justru mengakhiri pertemuan.bila sudah bertemu, jangan lagi mempertahankan ke”aku”an kita. Biarlah diri kita larut, hanyut di dlam-Nya, dan kita akan menyatu dengan-Nya, untuk selamanya.
Mehar memenuhi panggilan sang Yogi, karena ia menyadari kesalahannya. Ia masih memiliki “keinginan untuk menikmati”. Ia harus belajar untuk melampaui “keinginan” itu. Dia harus belajar dari seorang Yogi, seseorang yang telah mencapai yoga – mencapai kesempurnaan dalam yoga, mencapai “kesatuan”, sudah “menyatu”.
Kita sering bicara tentang tauhid, tentang kesatuan, dan kita anggap bicara tentang tauhid sudah cukup; menerima tauhid sebagai konsep sudah cukup. Penerimaan kita terhadap tauhid sebatas “penerimaan intelektual” saja. Alhasil penerimaan seperti itu justru membuat kita arogan. Melihat Mehar bertekuk lutut di hadapan Mahi, kita menuduhnya musyrik: “Kau telah menduakan Allah, yang patut kau sujudi hanyalah Allah!”
kita masih belum dapat memahami sisi lain dari Kebenaran Yang satu dan sama ada-Nya, yaitu: Ke mana pun kau menoleh, Wajah allah saja yang terlihat.
Karena masih belum bisa melihat wajah-Nya di mana-mana, kita membutuhkan kibalat. And it is okay, boleh-boleh saja bila kita memiliki kiblat sesuai dengan kepercayaan kita masing-masing. Kiblatmu bagimu, kiblatku bagiku… sampai pada suatu ketika, kita menemukan bahwa sesungguhnya Kiblat kita pun sama.
Tauhid merupakan proses.
Kiblat adalah sarana.
Allah adalah tujuan.
Pemahaman kita saat ini tentang tauhid barangkali berbeda. Pemahaman saya besok barangkali sama dengan pemahaman Anda hari ini. Atau sebaliknya, pemahaman Anda besok barangkali mendekati pemahaman saya hari ini.
Seperti Mehar, kita harus menjalani “proses” tauhid. Kita harus memenuhi panggilan Sang Yogi. Terserah mau memilih istilah tauhid atau yoga, kita tak perlu bertengkar soal istilah. Lakoni saja salah satu, dan kita pun akan sampai, akan tiba di tujuan.
“Maafkan aku, Guru, tapi aku telah menerimamu sebagai Guru.” penerimaan telah mengangkat seseorang sebagi murid. Itulah pelajaran pertama dalam yoga – penerimaan, menerima tanpa memikirkan kita diterima atau tidak… menerima pasang surut kehidupan.. Mehar telah lulus dalam pelajaran pertama. Ia telah berhasil melangkah masuk ke dalam yoga.
Dengan cara itulah sang Yogi menginisiasi siswanya. Mehar diterima karena ia menerima. Sesungguhnya, ia menerima dulu, baru diterima. Mehar merenung lama. “seandainya aku belajar menerima dari dulu…..”
Sang Yogi menegurnya: “Pelajaran kedua, janganlah sekali-kali menyesali masa lalumu. Masa lalu itu yang telah membuka wawasanmu, sehingga kau dapat menerima, sehingga kau menjadi seorang penerima. Belajarlah dari masa lau tanpa menyesalinya.
“Mehar, sekarang yang ketiga, dan terakhir: lakoni apa yang telah kau peroleh, apa yang selama ini kau pelajari”.
Sebelum berpisah, Sang Guru berpesan: “Jangan lupa. Pertama, bukalah dirimu terhadap alam, terhadap lingkungan, terhadap apa saja, karena segala sesuatu yang bkau jumpai dalam hidupmu sedang berbicara denganmu. Dengarkan semua itu.”
“Kedua: Janganlah membuang waktu dan tenaga untuk mengenang dan menyesali masa lalu. Belajar dari masa lalu tanpa menyesalinya. Jangan pula mengkhawatirkan masa depan. Sadari masa depan tanpa rasa khawatir. Hidup kekinian dengan penuh semangat.”
“Ketiga: Janganlah membebani otakmu dengan segala macam pengetahuan belaka. Terjemahkan apa yang telah kau peroleh dalam keseharianmu.”
Tanpa membuka diri, kita tidak dapat belajar. Mau kita tampung di mana pelajaran yang kita peroleh? Membuka diri tidak berarti membuka otak. Tanpa dibuka pun sesungguhnya otak kita sudah terbuka. Keterbukaan otak terhadap apa saja tidak menjamin penerimaan. Otak bisa terbuka, dan bisa tidak menerima. Kemudian, ia pun dapat membenarkan tindakannya sebagai hasil ketajaman atau kecerdasannya yang membuat dia makin kritis.
Karena menganggap kurang logis dan tidak masuk akal, otak kita bisa menolak apa saja, termasuk apa yang sesungguhnya amat sangat penting bagi “diri” kita, bagi perkembangan jiwa kita, bagi evolusi batin kita.
Membuka diri berarti membuka jiwa. Bila jiwa terbuka, otak hati, semuanya serentak ikut terbuka. Tidak perlu membuka satu per satu.
Kita bisa membuka jiwa cukup dengan niat: Aku membuka diri terhadap segala sesuatu yang dapat mengembangkan jiwaku, meningkatkan kesadaranku. Ketika berhadapan dengan sesuatu yang baru, ulangi niat itu dalam hati: Aku membuka diri terhadap segala sesuatu yang mengembangkan jiwaku, meningkatkan kesadaranku…. dan lihat hasilnya.
Saat melihat, atau menemukan sesuatu yang baru ulangi niat itu. Dengan hanya berniat untuk mengulangi niat saja, sesungguhnya kita sudah melangkah ke dalam keterbukaan diri… cobalah.
Setiap kali melihat sesuatu yang baru, jangan cepat-cepat mengambil keputusan. Bukalah dirimu, jiwamu, batinmu, ucapkan niatmu… maka jiwamu akan terbuka semakin lebar, dan…. sebagaimana dari seorang mehar, seorang gembala, Izzat Beg menjadi seorang Yogi, kita pun akan menemukan makna tauhid sesungguhnya….
Langkah berikutnya:
Melakoni.
Menerima memang menerima, tetapi siapa yang menerima? Bila hanya otak yang menerima, sesungguhnya kita belum menerima. Otak hanyalah bagian kecil dari kepribadian kita, walau otak merupakan segala-galanya bagi kesadaran fisik, mental dan emosional kita. Bila kita percaya bahwa diri ini sekadar badan, pikiran dan perasaan, otak memang segala-galanya. Tetapi, bila kita menerima badan, pikiran dan perasaan hanya sebagai lapisan kesadaran yang membentuk diri kita, otak hanyalah bagian dari salah satu lapisan kesadaran, yakni kesadaran jasmani kita. Barangkali dapat mempengaruhi dapat menentukan cara berpikir kita, dan dapat mempengaruhi perasan kita, tetapi kita bukanlah pikiran kita. Kita bukanlah perasan kita. Kita lain…. lebih dari sekadar itu.
Apa saja, termasuk hidup kita, bila dikendalikan oleh otak, akan mengalami pasang-surut. Suka dan duka, penyakit dan kesehatan, kenyamanan dan ketaknyamanan, ketenangan dan kegelisahan, rasa damai dan sebaliknya – apa saja yang berasal dari otak atau dirasakan lewat otak selalu mengalami pasang surut.
Bila kita bahagia karena otak, percayalah sebentar lagi kita akan berduka karena otak pula. Bila kita mencintai karena alasan-alasan yang “masuk akal” atau berasal dari otak, sesaat lagi kita akan membenci. Sebaliknya, bila kita membenci karena otak, kebencian pun tak akan bertahan lama. Sebentar lagi benci pun dapat berubah menjadi cinta.
Bila kita beragama karena agama kita logis, rasional, masuk akal, ilmiah, untuk mempertahankannya kita harus selalu meyakin-yakinkan diri. Karena itu diciptakan dogma, doktrin, kredo, dan segala peraturan, lengkap dengan intimidasi api neraka dan iming-iming kenikmatan surga. Tanpa semua itu, kita sulit mempertahankan keagamaan kita, karena sesuatu yang indah telah hilang., yaitu Misteri Yang Tak Terungkapkan, ketahuilah bahwa Misteri itulah Tuhan.
Upaya untuk mengilmiahkan agama sama dengan upaya untuk memisahkan Tuhan dari agama. Segala yang terungkap merupakan permainan otak, produknya. Segala yang tak terungkap berasal dari sesuatu di luar otak, dan itulah Kebenaran Hakiki. Tidak berarti bahwa otak tidak benar. Otak pun benar. Dia adalah bayangan dari Yang Hakiki itu. Karena itu, persis seperti bayangan, segala yang berasal dari otak dapat berubah-ubah. Kadang membesar, kadang mengecil.
Memang, kita dapat melakoni sesuatu dengan menggunakan otak saja, tanpa melibatkan Yang Maha Misteri, karena sesungguhnya otak pun bagia dari Yang Satu Itu. Tanpa mengenal-Nya, kita dapat berhubungan dengan bayangan-Nya.
Sungguh Menakjubkan Permainan-Nya! Bayangan-Nya saja menciptakan ilusi yang begitu riil, begitu nyata! Maha Benar Allah, Haqq Allah, Haqq Allah, Haqq Allah…
Sering kali kita menggunakan dalih peraturan agama demi kepentingan kita sendiri, untuk membenarkan kelemahan diri sendiri. Suhni pun sama. Ia menggunakan dalih agama untuk menutupi kelemahannya. Ia tidak siap meninggalkan Dum dengan segala kemewahan dan rasa aman yang dia peroleh dari Dum.
Suhni pun tidak tegas, karena ia pun lebih banyak menggunakan “otak”. “Hati” sudah diistirahatkan, atau digunakan hanya jika “diperlukan” – saat bercumbuan dengan Mehar saja.
Mehar sedang berusaha untuk meningkatkan Ishq Mijazi, Cinta Berahi, menjadi Ishq Hakiki. Cinta Sejati, sehingga pada waktunya nanti ia dapat menggapai Ishq Illahi, Cinta Ilahi. Suhni menariknya dari Ishq Hakiki kembali ke Ishq Mijazi.
Apa yang menyebabkan perubahan itu? Pergaulan, lingkungan… Suhni terlalu lama hidup bersama Dum. Walau badannya tidak dijamah, tidak disentuh, jiwanya tetap saja terpengaruh.
Pengaruh terhadap jiwa Suhni terjadi lewat badan pula… badan yang terbiasa hidup dalam kemewahan, badan yang terbiasa hidup terlalu nyaman, badan yang sangat tergantung pada rasa aman. Padahal, rasa aman hanyalah sebuah ilusi. Badan tidak aman. Badan tidak pernah aman. Tanpa kita sadari, badan kita menua setiap detik. Tanpa disadari, sekian banyak perubahan terjadi setiap saat. Badan seolah mempunyai hukum sendiri sesuai dengan kodratnya.
Dalam kesadaran mijazi, dimana emosi masih bergejolak tanpa kendali, sesuatu yang haqq, benar, memang tak terlihat.persis seperti langit yang nampak tertutup oleh awan gelap. Padahal, “ketertutupan” itu semata-mata karena “keterbatasan””penglihatan kita”. Dalam keadaan mijazi kita hanya merasakan luapan emosi dalam cinta. Kita bisa hidup dan mau bersama pasang surutnya gelombang emosi, dan kita menganggapnya cinta – padahal itu belum cinta.
Biasanya, beberapa saat sebelum kita mengembuskan napas terakhir, energi kehidupan, prana atau “nyawa”di dalam mtubuh kita sudah mulai meninggalkan bagian bawah tubuh. Saat itu, bila cukup peka, kita memperoleh kesempatan terakhir untuk meninjau ulang hidup kita. Mehar pun memperoleh kesempatan serupa.
Sang Jelita, Ia Yang Maha Indah tidak berada di luar diri kita. Di luar diri, kita hanya menemukan bayangan-Nya. Dan, bayangan itu pun terasa begitu indah, sehingga timbul keinginan di dalam diri kita untuk memilikinya. Kemudian kita mengejar bayang-bayang itu. Padahal, tidak perlu ada keinginan untuk memiliki, karena kita telah memilikinya – atau lebih tepat, karena kita adalah milik-nya. Tidak perlu pula kita mengejarnya, karena bayangan yang kita kejar itu pun sesungguhnya bayangan kita.
Selama ini kita mengejar bayangan kita sendiri, dan bayangan itu kita anggap jati diri kita, padahal segala sesuatu yang ada di luar hanyalah penjabaran dari apa yang ada di dalm diri kita. Kita melihat dunia luar sesuai dengan kesadaran diri kita. Kemudian, penglihatan itu kita bakukan. Sesaat kemudian bila kita melihat dunia yang sama dari sisi lain dan apa yang terlihat beda dari apa yang terlihat sebelumnya, kita menjadi gelisah.sebelumnya pertemuan, sekarang perpisahan. Sebelumnya kelahiran. Sekarang kematian. Tadi suka, sekarang duka…..
terbitnya matahari di sini, menandai tenggelamnya matahari di sana. Matahari tidak terbit dan tidak tenggelam. Terbit dan terbenamnya matahari hanya terjadi karena penglihatan kita sendiri, karena keberadaan kita, posisi kita… di belahan du ia mana kita berada.
Perpisahan dan pertemuan dengan apa yang kita sebut Tuhan pun terjadi karena posisi “mind” kita, karena “keberadaan” pikiran kita. Pikiran mempertemukan, pikiran memisahkan… Bila pikiran terlampaui, segalanya ikut terlampaui; perpisahan dan pertemuan dua-duanya terlampaui. Kemudian Yang Ada, Yang Tersisa hanyalah Tuhan, Tuhan, Tuhan dan “Hanya” Tuhan.
Menghukum seorang manusia bersalh adalah kodrat insani.memaafkan kesalahan dan tidak membuka aib seseorang adalah pertanda Rahmat Ilahi. Bila kita melakukan hal itu, kita menjadi Ayat Allah. Kita menjadi Bukti Nyata akan Kehadiran-Nya.
Para tokoh agama yang ,elakukan pembunuhan atas nama agama tak lebih dari manusia biasa, sedangkan mereka yang mampu memaafkan menjadi Habib Allah, Pecinta Allah, dan dicintai oleh-Nya.
Pilihan sepenuhnya ada di tangan kita. Silakan pilih, mau menjadi bagian kecil dari keramaian dunia, atau ingin mendekatkan diri pada Dia yang menggenggam alam semesta dalam satu Genggaman-nya! Dengan memaafkan Suhni, Dum memilih untuk mendekatkan diri pada Dia. Sungguh luar biasa!
Sesungguhnya dunia tidak mengikat. Kita saja yang merasa diikat, terikat… Keraguan kita, kebimbangan kita, ketakpercayaan kita – itulah ikatan-ikatan buatan kita. Dengan itu kita mengikat diri sendiri.
Dum juga tidak mengikat Suhni. Bila ia berjujur berkata, barangkali Dum akan langsung menceraikannya dan mengantarnya untuk bertemu dengan Mehar, untuk bersatu dengan ia yang dikasihinya. Barangkali, siapa tahu! Suhni saja yang tidak siap, atau belum siap. Suhni saja yang masih takut, belum mantap.
Bebaskan dirimu dari rasa takut, mantapkan dirimu, dan kamu pasti bertemu dengan-Nya.
Triwidodo
Juli 2008.
Filed under: apresiasi buku | Tagged: anand krishna, kesadaran, sufi, tauhid, yoga | Leave a comment »